Jumat, Agustus 22, 2008

Antara Cinta dan Sahabat

“Risaaa…. Kecilkan suaranya!!!” teriak Kak Dyo dari dalam kamarnya.
“Iya, iya,” jawab Risa dengan sedikit ketus.
Risa mengecilkan volume suara Astrid yang terdengar seperti erangan lagu yang menyakitkan.
Yup!!! Risa memang sedang sedih yang bercampur kesal dan mengerang di dalam hatinya.
“Teganya!!!” teriak Risa dalam hati dengan air mata yang tak dapat dibendungnya lagi.
Bayangkan saja, Ocha, Sahabat karibnya yang sudah lama begitu dekat, terlihat sedang asyik berduaan dengan Andi di depan sekolah tadi siang. Risa memang sangat menyukai Andi sejak awal mereka bertemu. Tinggi, tegap, tampan, dan pintar pula. Siapapun akan tertarik untuk lebih dekat dengannya. Termasuk Risa yang sudah lama menyimpan rapat perasaannya.
“Apakah selama ini Ocha tidak memperhatikan wajahku yang selalu merona jika melihat Andi lewat dihadapanku?? Atau Ocha memang tak peduli padaku??” Pertanyaan demi pertanyaan muncul di dalam otak Risa.
Awalnnya ia memang tidak pernah menduga semua ini, karena Ocha telah memiliki kekasih yang setahu Risa sebagai The only one love bagi sahabatnya itu. Tapi, begitu ia melihat kejadian yang terjadi sewaktu Risa pulang sekolah tadi. Oh..Entah kemana kesetiaan yang selama ini diagungkan oleh Ocha tarhadap kekasihnya.
Risa pun terlarut dengan kesedihannya itu hingga ia tertidur dan lupa mematikan tape recorder yang dari tadi mengalun lembut menemani kesendiriannya.

“Ris..Risa!! Kamu dari mana aja sich?? Aku cariin kamu kemana-mana,” tanya Ocha pada sahabatnya itu di depan kelas.
“Emang gue biasanya kemana kalo pagi-pagi begini?? Ya ke kantinlah buat sarapan!!!” jawab Risa dengan ketus dan membuat kaget sahabatnya itu.
“Kamu kenapa? Kok kayaknya aneh banget??” Ocha keheranan.
Tanpa basa-basi keluarlah kata-kata yang penuh makna dari mulut Risa kapada sahabatnya itu.
“Cinta kadang menyakitkan bila tanpa kesetiaan dan cinta kadang sangat melelahkan bila tanpa kesetiaan.” Dengan wajah cueknya Risa berlalu dari hadapan Ocha yang masih terdiam kebingungan akan ucapan sahabatnya tadi.
Dan selama jam pelajaran hingga waktunya pulang, mereka tidak saling bicara. Risa dengan seribu diamnya yang menyimpan sesak di dada dan Ocha yang masih tak mengerti, memilih diam tanpa komentar apapun.

Sambil menunggu taksi yang datang, Risa duduk di taman depan sekolahnya. Namun, pikirannya terus melayang dan tak berhenti memikirkan Andi. Sebenarnya Andi dan Risa pernah dekat. Mereka sering saling sapa hingga telpon-telponan hampir tiap malam. Tapi, entah mengapa atau mungkin Andi maupun Risa sama-sama memiliki kesibukan yang sangat padat. Hingga mereka lupa untuk saling bertanya kabar. Begitu classmeeting tiba, barulah Risa mulai mencari-cari kepingan hatinya itu lagi. Dan selanjutnya, tiba-tiba Ia melihat Ocha dan Andi saling canda di depan sekolah dengan akrabnya. Jelas saja Risa naik pitam. Setahu Risa, Sahabatnya itu tidak pernah mengenal Andi dengan akrab. Tapi, mengapa???
“Aku memang cemburu!!! Terus kenapa??” Bisik dalam hati Risa.
Risa tertunduk, menangis di atas kasurnya dan kecewa kepada sahabat karibnya. Tiba-tiba, Ia menemukan sebuah buku merah yang terdapat di bawah bantalnya. Ternyata, buku itu tertulis nama Kak Dyo. Dan judulnya cukup menarik Risa yang sedang gundah gulana. “Seberapa Pantas Dia Untukku??” Dengan judul itu dapat menggelitik Risa untuk membukanya. Selembar demi selembar terlewati. Wajahnya yang tadi pucat dan lesu, kini mulai memudar. Ternyata, isi buku menjelaskan tentang kekuatan hati untuk menahan segala rasa yang sebenarnya hanya membuang waktu.
“Aku memang suka, tapi entah ini cinta?” pikirnya dalam hati.
“Cemburu?? Itu normal kan???” tanyanya lagi dalam hati.
“Ocha sahabatku?? Dari dulu memang begitu kan???” batinnya terus bertanya sekaligus memikirkan nasib cinta dan sahabatnya.
Ditutupnya buku merah itu. Dalam hatinya, Ia tahu bahwa isi buku itu memberinya sebuah pemikiran, kalau perasaannya pada Andi dan rasa marahnya pada sahabatnya, Ocha, hanya membuang waktunya saja. Sesuatu yang belum jelas, malah menjadi hal yang terus dipikirkannya dari tadi.
Aku bukannya mengalah
Aku tidak menyerah
Aku punya rasa, punya cinta
Aku merasa bahagia
Bukannya Aku ingin lupakan semua cerita
Tapi, cukup sudah!!!
Aku tak mau tersesat tanpamu
Sahabatku…
Aku akan biarkan ini mengalir
Hingga noda menghilang dari hatiku
Maafkan Aku, wahai sahabatku..
Yang sudah mengacuhkanmu karena cemburuku.
Dilipatnya secarik puisi yang telah ditulisnya tadi. Dan berharap Ocha, sahabat karibnya akan mengerti apa yang telah terjadi. Dan berjanji dalam hatinya untuk menjelaskan semua kata-katanya yang pernah ditujukannya kepada sehabatnya itu besok dan mulai berjalan lagi tanpa ada rasa yang mencoba mempermainkan kesetiaannya akan sebuah persahabatan yang sangat dijunjungnya itu.
“Maafkankan aku wahai Sahabatku,” kata maaf itu mengalir bersama dengan senyuman yang tenang di wajah Risa.

Penyesalanku Kepada yang Terbaik

“Rick!! Tunggu!”
Ricky menoleh, lalu melanjutkan langkahnya. Aku mengejarnya dan menarik tangannya.
“Apa sih?”“Kok kamu ga tunggu aku? Aku pengen pulang bareng kamu.”“Maaf, aku buru-buru.”“Buru-buru? Tiap hari juga buru-buru.”“Maaf, Vel.”“Ya udah! Terserah kamu!”Aku pergi meninggalkan Ricky, berharap ia mengejarku. Tapi aku salah! Panggilan darinya pun tak kudengar.
***
“Hai, Vel, malam ini ada acara?” Aku sedang berbicara di telepon dengan selingkuhanku.“Hm.. Nggak.”“Ketemuan yuk di cafe. Mau?”“Boleh.”“Aku tunggu jam 7 ya. Bisa?”“Ok. Bye, Ram..” Aku menutup telepon.
Namanya Rama. Aku mengenalnya lewat chatting. Dia baik, perhatian, dan tentu saja keren. Dia mencintaiku. Dia tahu aku sudah punya pacar tapi dia tetap ingin jadi pacarku. Kebetulan aku dan Ricky sudah agak menjauh, jadi tidak ada salahnya mencoba untuk selingkuh walau kutahu itu tidak baik. Siapa tahu saja suatu hari nanti Ricky akan memutuskan hubungannya denganku, aku masih punya pacar cadangan.
***
Sampai di cafe, kami memesan makanan dan kami makan sambil berbincang-bincang.“Vel, aku senang bisa sedekat ini sama kamu. Gak terasa kita sudah jalan 3 bulan. Kamu senang?”“Aku senang banget.”“Vel, jujur aku pengen banget memiliki kamu seutuhnya.”Aku terdiam.“Aku tahu kamu ga mau putusin Ricky. Tapi sampai kapan pun aku akan tetap menunggumu.”
“Makasih ya, Ram, kamu mau nunggu aku.”“Kamu lebih mencintai dia?”“Aku juga tidak tahu. Yang kutahu, aku selalu merasa bahagia berada di dekat kamu. Kamu perhatian, romantis, dan selalu ada untukku. Jauh berbeda dengan Ricky.”“Itu berarti kamu sudah bisa memilih, Vel.”Aku tersenyum mantap walaupun dalam hati masih ada perasaan ragu.

***
“Ricky!”Seperti biasa, dia hanya menoleh lalu melangkah pergi.“Ricky!!” Aku menahan tangan kanannya.“Apa sih, Vel?”“Aku mau ngomong sama kamu.”“Aku buru-buru, Vel.”“Gak lama kok. Aku cuma mau bilang kalo aku minta putus!”Dengan raut wajah tak percaya, Ricky menatapku. Lalu dengan cepat ia menarik tanganku ke salah satu bangku di lapangan parkir.
“Apa kamu bilang?”“Aku minta putus, Ricky,” aku mengulang.“Kenapa??”“Kenapa? Bukannya itu yang kamu inginkan? Sudahlah! Aku tahu kamu ga cinta lagi sama aku. Setiap hari kamu ga pernah mau ada di dekat aku. Kamu selalu menghindar. Aku capai! Daripada aku sakit hati, lebih baik aku yang putusin kamu lebih dulu. Jadi kamu ga usah susah-susah lagi putusin aku. Sudah ya, aku buru-buru. Semoga kamu bahagia tanpa aku.”Aku meninggalkan Ricky tanpa menunggu jawabannya. Sekarang hatiku lega bercampur sedih.
***
“Selamat ulang tahun, Sayang.”“Makasih.”“Udah siap pergi?”“Yap!”Hari ini aku berulang tahun. Rama mengajakku makan malam di sebuah restoran mahal dengan pemandangan laut yang indah. Rama memang sangat romantis, benar-benar tipe pria idamanku. Aku merasa beruntung telah memilihnya menjadi kekasihku.“Sayang, aku senang kamu ajak aku makan di sini. Bagus banget pemandangannya.”“Aku senang kalau kamu senang. Vel, makasih ya kamu mau jadi pacar aku sepenuhnya.”“Aku yakin ini keputusan yang tepat.”Rama tersenyum.“Vel, aku ke WC dulu ya. Titip HP-ku.”“OK.”Rama pergi. Aku kembali menikmati pemandangan di sini. Benar-benar indah.
‘Rrrr….’
HP Rama bergetar. Aku mengambilnya lalu kulihat layar HP Rama. Tertulis di sana ‘Sayangku calling.’ Aku tercengang. Sayangku?? Sayangnya Rama kan cuma aku. Lalu siapa ini? Dengan hati berdebar-debar kuangkat telepon itu.
“Sayang, kamu di mana sih?” suara manis dan centil terdengar di telingaku.“Kamu lagi jalan sama Veli ya?”Kok dia tahu aku??“Ha.. Halo,” aku memberanikan diri untuk mengeluarkan suara.“Uups. Ini siapa?” jawabnya.“Veli,” jawabku singkat.“Oh, Veli. Maaf ya aku ganggu kamu.”“Kamu siapa?”“Aku.. Aku…”“Ayo jawab! Kamu siapa?” aku sedikit membentak.“Aku pacar Rama,” jawabnya. Bisa kudengar suaranya agak bergetar.“Pacar? Aku pacarnya Rama!”“Ehm.. Maaf ya, Vel, aku ga bermaksud menyakiti kamu. Tapi kurasa aku harus membuka semuanya sekarang.”“Ada apa sih?”“Aku jadian sama Rama udah hampir 3 bulan.”“Hah? Jadi?”“Aku benar-benar minta maaf.”“Kamu tahu dia jalan sama aku?”“Ya. Aku tahu.”“Kenapa kamu ga marah?”“Kenapa aku harus marah? Toh Rama cuma…. Oops..!”“Cuma.. Cuma apa?”“Cuma mainin kamu.”“Kenapa???”Aku mulai menangis.“Karena kamu sangat polos. Kamu mudah dibohongi. Rama hanya ingin main-main. Dia tidak pernah serius sama kamu. Dia cuma menginginkan tubuhmu.”“APA???!!”“Maaf, Vel.”Aku menutup telepon. Rama datang menghampiriku. Tanpa basa-basi aku berdiri lalu menamparnya dengan keras. Tidak peduli semua orang memperhatikan kami.“Aku sudah tahu semua kebejadan kamu! Aku gak nyangka otak kamu bisa sekotor itu!! Kita putus!!”Aku berlari pulang sambil menangis.
***
Sampai di rumah.
“Sayang, ini tadi ada titipan dari Ricky. Kamu lagi berantem ya?”“Nggak kok. Makasih, Ma, aku ke kamar dulu.” Aku mengambil kado itu lalu menuju kamarku.Kubuka kado itu. Sebuah kotak musik. Kubuka perlahan dan muncul sepasang pengantin sedang berdansa diiringi alunan piano. Benda yang sangat kuimpikan sejak 3 bulan yg lalu. Di bawahnya ada secarik kertas. Kubuka dan kubaca…‘Happy Birthday. Ini kotak musik yang kamu idamkan. Aku ingin ini menjadi kado spesial untukmu. Aku hargai keputusanmu untuk berpisah denganku. Maaf sudah membuatmu sedih selama ini. Tapi perlu kamu tahu, aku kerja part time untuk membelikanmu hadiah ini. Karena itulah aku selalu buru-buru sepulang sekolah. Semoga kamu bahagia tanpaku.’Aku menangis.

Aku Bukan Wonderwoman


Semua orang selalu ingin terlihat hebat di depan orang lain. Semua orang selalu ingin menjadi yang terbaik buat orang lain. Aku juga demikian. Aku juga ingin selalu tampak hebat di depan orang-orang yang aku sayangi. Tapi, tampak hebat di depan orang lain itu ternyata tidak menyenangkan. Tampak hebat di depan orang lain itu justru melelahkan.
Akulah salah satu dari orang-orang yang tampak hebat di depan orang lain dan merasa lelah. Hal ini karena aku bukanlah cewek hebat yang benar-benar hebat. Aku selalu menjadi superwoman di depan mereka dengan segala sudut kehidupanku yang sempurna. Sebenarnya ini bukanlah kehendakku. Ini terjadi begitu saja, seperti air. Mengalir menuju ke hilir begitu saja. Tidak ada satu pun yang tahu siapa aku sebenarnya. Hal ini mungkin karena aku bukanlah tipe cewek yang bisa berbagi tentang kisah hidupku kepada siapapun yang lalu lalang di depanku dan menawarkan bantuan yang sebenarnya sangat aku butuhkan. Padahal aku punya banyak orang yang aku sayangi di sekitarku. Atau mungkin karena aku ini cewek sombong yang sok hebat dan merasa bisa menghandle semua sisi kehidupanku. Entahlah!! akupun tidak mengerti tentang diriku sendiri.
Karena itulah mereka menganggap aku cewek hebat yang tidak pernah menghadapi masalah dalam hidupku. Aku ini superwoman. Aku punya keluarga yang perfect, nilai yang bagus, teman yang banyak, hidup berkecukupan, dan sebagainya. Apa lagi yang harus aku pikirkan coba. Semuanya sudah komplit.
Akulah Nana. Nana yang hebat, Nana yang kuat, Nana yang bijaksana, Nana yang punya pemikiran yang logis, dan blablablabla.
Ini semua benar-benar melelahkan. Semua prasangka orang-orang itu benar-benar bikin aku capek. Setiap manusia kan juga punya kelebihan dan kekurangan. Aku manusia dan jelas aku punya kekurangan itu. Tapi aku tidak pernah bisa membaginya dengan orang lain. Sekarang penyebabnya bukan hanya karena aku bukan tipe cewek yang bisa sharing ini itu kepada semua orang tapi lebih kepada aku ini sudah dicap sebagai cewek kuat dan tangguh. Aku cewek hebat yang gak pernah ada masalah atau cewek yang bisa menyelesaikan masalahku dengan hanya sekedip mata dan ‘ting!!!’, masalahku langsung selesai. Setiap aku berusaha bercerita pasti diakhiri dengan keheranan mereka kenapa aku gak bisa menyelesaikan masalahku.
***
“Na, gue mau curhat,” Tata masuk ke kamarku sambil merengek-rengek. Aku yang semula sedang membaca majalah menarik nafas, mengubah posisi dudukku menghadapnya, dan siap mendengarkan.“Natan lagi??” tanyaku. Aku sebenarnya sudah tau apa yang ingin dicurhatkan sahabatku yang satu ini. Pasti soal Natan, cowok yang sudah jadi pacarnya dalam satu tahun ini.Tata menganggukkan kepalanya. Matanya tampak berkaca-kaca. Aku kembali menarik nafasku.
“Kenapa lagi dia??” tanyaku mulai bosan. Gimana gak bosan, setiap kali yang dicurhatin sama anak itu selalu saja soal Natan. Selalu. Seolah tidak ada manusia lain selain Natan dalam hidupnya.“Gue berantem lagi sama dia.” Selalu itu jawabannya. Aku diam. Sudah terlalu banyak pendapat yang aku utarakan ke dia. Tapi, semua pendapat itu tampaknya masuk telinga kiri keluar telinga kanan.“Masa gue ditahan-tahan mulu sama dia. Padahal tadi malam itu gue cuma pergi jalan-jalan sama sepupu gue. Trus ketahuan sama dia. Dia marah-marah sama gue.”“Lu udah jelasin belum sama dia kalo lu tu cuma pergi sama sepupu lu?”“Udah. Gue udah sms dia. Awalnya gue nelpon dia buat minta izin, tapi gak diangkat. Makanya gue sms aja. Tapi gak dibales-bales, jadi gue mutusin buat pergi aja,” jelas Tata.Aku menggeleng-gelengkan kepala. Selama ini aku benar-benar tidak mengerti kenapa sih dia betah pacaran sama Natan. Sudah jelas anaknya posesif gila. Tapi tetap aja dipertahanin.
“Kalo lu udah gak kuat lagi kenapa lu gak minta putus aja sama dia,” usulku. Usul ini selalu ada dalam urutan pertama dalam list ‘advice untuk Tata’ku.Tata menggelengkan kepalanya. “Gue gak mungkin mutusin dia, Na. Guekan sudah sering bilang kaya gitu ke lu.” Tata mengelap air matanya. Aku hanya diam sambil mengelus dada. Inikah yang namanya cinta mati sampai rela mati demi cinta???!!!!Actually, aku gak begitu kenal sama Natan. Cuma sekedar tau aja. Anaknya emang ramah, gak sombong, murah senyum, dan enak diajak ngomong. Tapi, sifat posesifnya yang gak ketulungan itu yang benar-benar bikin aku jengah. Tata udah kaya boneka aja sama dia. Jangankan sama orang lain, sama kami yang jelas-jelas teman dekatnya pun sulit bagi Natan untuk memberi izin Tata buat pergi jalan-jalan. Gila aja, orang tuanya Tata sendiri aja gak pernah ngelarang Tata sampe segitunya.
“Cinta……,” jawabku lesu. Aku benar-benar heran, kenapa cinta justru bikin orang gila.Tata menganggukkan kepalanya.
“Gue sayang sama dia, Na. Gue gak mungkin mutusin dia.”“Yah… kalo gitu lu terima aja diposesifin sama dia,” lanjutku. Aku benar-benar sudah bosan.“Na, kasih gue advice dong. Jangan ngomong gitu. Gue kan lagi butuh nasihat lu.” Tata menggoyang-goyangkan bahuku.
“Ta, gue itu udah banyak ngasih advice sama lu, tapi tu advice selalu masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Gak pernah ada yang nyangkut di kepala lu.” Tata diam. Aku memandangi wajah Tata. Aku tau kalo sebenarnya dia juga sudah mulai lelah dengan masalahnya yang satu ini. Tapi kenapa sih dia gak pernah mengambil sikap.
“Gue bukannya gak mau bantuin lu, Ta. Tapi masalah lu ini dari jaman dulu gak pernah selesai. Gue suruh lu ngomong sama dia gak pernah lu lakuin. Gue suruh putus lu bilang lu sayang sama dia. Gue yang dibikin bingung sama sikap lu.”“Gue juga gak tau ada apa sama gue. Gue takut dia marah sama gue kalo gue ajak dia ngomong.”“Ya Tuhan, Ta. Natan itu bukan siapa-siapa lu. Dia cuma baru pacar lu, bukan laki lu. Kenapa sih harus segitu takutnya sama dia. Apa lu mau gue yang ngomong sama dia??” Aku udah mulai naik darah. Tata benar-benar selalu gak bisa ngapa-ngapain kalo sama Natan. Hanya bisa nurut kaya robot. Ta, kita emang gak bisa mencegah perasaan cinta muncul, tapi kita bisa memanage perasaan kita untuk tidak begitu jauh terperangkap sama perasaan cinta kita.”Tata memandangiku. “Gimana caranya???” tanyanya.“Tergantung kemauan lu sendiri. Itu perasaan lu, Cuma lu yang tau mesti gimana.” Tata menarik nafasnya berat. “Ato gini aja deh, Ta. Lu ngomong sama dia. Ngomong baek-baek dan gue jamin dia pasti gak bakalan marah.”“Mungkin emang kaya gitu ya. Harus ngomong,” gumam Tata.Aku tersenyum. “Iya, emang harus kaya gitu. Semua hal emang harus selalu diomingin. Kalo gak diomongin gimana orang bisa tau perasaan kita.” Dalam hati aku hanya bisa mengutuk. Betapa mudahnya kalimat itu keluar dari mulutku.Tata memelukku. “Thanks ya, Na. Gue bakalan usaha buat ngomong sama Natan. Moga-moga aja dia gak marah sama gue.”Aku menepuk-nepuk bahu sahabatku itu. “Nggak kok,” jawabku.
“Thanks atas advicenya ya, Na. Gue mau balik dulu nih.” Tata beranjak dari tempat duduknya. “Ntar ketahuan sama Natan.”Aku berdecak. “Heran gue kenapa lu bisa cinta mati sama tu cowok.”Tata tersenyum. “Lu pasti juga ngerasain perasaan itu nanti.” Tata mengedipkan matanya. Aku diam.
“Oh iya, Gigi sama Niki gak dateng, Na?” tanya Tata kemudian.Aku menggelengkan kepalaku. “Nggak deh nampaknya. Hari minggu kali ni nampaknya anak-anak pada sibuk. Yah… setidaknya lu gak perlu susah-susah cari alasan buat gak ikut ngumpul kalo gak dapet izin dari Natan.”Tata merengut. “Nyindiiiiir……….”Aku tertawa. “Udah… sana pulang. Ntar suami lu marah lho kalo ketahuan ngilang gitu aja.” Tata hanya mendengus sebal dan pergi keluar kamarku.
Sepeninggalan Tata aku merenung. “Lu pasti juga ngerasain perasaan itu nanti.” Kata-kata Tata itu kembali terngiang di telingaku. Perasaan itu sebenarnya sudah aku rasakan sejak lama. Perasaan menyukai seseorang dengan segenap hati sudah aku rasain bahkan jauh sebelum Tata jadian sama Natan, jauh sebelum Gigi merasakan penyesalan karena orang yang disayanginya meninggal sebelum dia sempat menjawab pernyataan cinta cowok itu, jauh sebelum Niki bertemu dengan cowok bule yang sekarang sudah jadi pacarnya. Dan sampai sekarang pun perasaan itu tidak pernah berubah, sedikit pun. Tapi entah kenapa perasaan itu justru bukannya membuat aku merasa di awang-awang seperti kata orang-orang. Perasaan itu sungguh menyiksa aku. Aku ingin sekali bisa terlepas dari perasaan ini. Tapi aku justru gak bisa mengusirnya. Kata-kataku tentang bisanya kita memanage perasaan kita kepada Tata ternyata juga tidak berlaku buat diri aku. Tapi, setidaknya aku berhasil untuk tidak menangis-nangis hanya karena tersiksa dengan perasaan ini. Yah.. karena apa lagi kalo bukan karena aku superwoman.
Namanya Abil. Dia teman sekolahku sewaktu aku SD dan SMP. Sebenarnya menurutku ini cerita bodoh. Cerita yang sangat tidak cocok bagi seorang Nana yang sangat terhormat. Percaya gak percaya aku pernah pacaran sewaktu aku SD. Tapi, itu karena terpaksa. Bener deh… karena terpaksa. Dan Abillah cowokku itu. Aku dulu sangat tidak menyukai Abil, karena apa?? Karena gara-gara perasaan bodohnya itu aku harus berkorban demi temanku. Aku tipe sahabat setia yang selalu mau melakukan apapun demi sahabatnya sendiri. Pada waktu itu, jujur deh aku tidak mengerti ada apa sih dengan mereka. Mereka masih sangat kecil, masih bau kencur, dari siapa sih mereka mengenal kata cinta.
Temanku itu disukai sama sahabatnya Abil dan temanku juga menyukainya. Tapi, kenapa mereka harus membuat syarat kalo mereka bakalan jadian asalkan aku nerima si Abil bodoh itu. Aku dipaksa sama teman-teman aku buat nerima dia, kalo gak temanku itu juga gak akan mau nerima temannya Abil itu. Nampaknya sejak kecil aku sudah ditakdirkan menjadi seorang pahlawan. Makanya aku mengalah dan memutuskan menerima dia. Ya Tuhan, sampai sekarang aku juga gak percaya kalo dalam hidupku ada cerita seperti itu.
Singkat cerita, aku jadian sama Abil. Cuma setahun. Setelah aku masuk SMP, aku mutusin untuk tidak peduli lagi sama dia karena temanku itu udah putus dengan temannya Abil, jadi buat apa aku lanjutin sandiwaraku ini. Lagian aku udah bete, udah bosan banget. Alhasil sejak saat itu aku tidak pernah menyapanya lagi. Jangankan menyapa, melihatnya saja aku sudah moh. Hanya dia satu-satunya teman sekelasku yang tidak pernah aku sapa. Aku tidak tahu gimana perasaannya dan jujur saja saat itu aku benar-benar tidak ingin tahu.
Tapi, mungkin ini yang namanya karma ya. Sejak aku masuk SMA dan pindah ke kota lain perasaan aku itu berubah. Aku tidak mengerti kenapa perasaan itu muncul. Waktu itu aku lagi liburan sekolah dan kembali pulang ke kota asalku karena orang tuaku masih ada di sana dan saat itulah aku melihatnya sedang jalan sama cewek lain. Sejak aku putus tanpa kata dengan Abil, aku sama sekali belum pernah pacaran lagi. Dialah cowok pertama dan terakhir aku sampai sekarang.
Kembali ke pertemuanku dengan Abil dan ceweknya. Saat itu entah kenapa aku merasa sakit hati melihat dia jalan dengan cewek lain. Aneh… Padahal aku benar-benar tidak ada bertegur sapa dengannya sejak masuk SMP. Kenapa perasaan itu justru muncul empat tahun kemudian setelah aku kelas 2 SMA dan sampai aku di tingkat dua universitas sekarang. Selama empat tahun pulalah aku memendam perasaan itu dan tentu saja tidak ada satupun yang tahu kecuali Tuhan Yang Maha Tahu.
Aku benar-benar tidak menyukai perasaan itu karena itu bukanlah jenis perasaan yang aku inginkan. Aku nggak mungkinkan datang lagi ke dia dan bilang aku suka sama dia padahal mungkin saja dia membenciku karena sikapku yang egois. Lagian dimana harga diriku kalo sampe aku duluan yang bilang suka ke dia. Aku benar-benar tidak bisa apa-apa. Aku menyukai seseorang pada tempat dan waktu yang salah.
“Na………….” Lamunanku buyar oleh panggilan mamaku. Aku memandang mamaku yang sekarang sudah membuka pintu kamarku. Dia tersenyum padaku. Sangat menenangkan.
“Lagi melamun?” tanya mamaku. Aku hanya tersenyum. Majalah yang masih terbuka di pangkuanku kututup.
“Cuma mikirin kuliah aja, Ma!” jawabku. Jelas banget bohongnya. Kuliah apa yang mesti aku pikirin di saat liburan semester seperti ini. Aku kan lagi liburan di kota asalku.Mamaku berjalan mendekat. Dia duduk di sampingku dan mengelus kepalaku.
“Kamu memang gak pernah mau cerita sama Mama ya????” lanjut mamaku lagi.Aku memandang mamaku. Rasa bersalahku muncul. Sebenarnya aku pengen banget cerita tentang perasaan aku ini sama mamaku, tapi aku gak bisa. Ya Tuhan… begitu tinggikah harga diriku ini aku letakkan hingga berbagi dengan mamakupun aku merasa gak sanggup.
“Nggak ada yang harus aku bicarain soalnya, Ma. Kalo ada aku pasti cerita,” jawabku meyakinkan. Mamaku kembali tersenyum.
“Ya sudahlah.” Nampaknya dia sudah sangat paham dengan sikap tertutupku ini. “Papa ngajak makan malam diluar.”Aku tersenyum. “Wah.. asik itu. Seafood ya????” bujukku. Aku suka banget seafood walaupun alergiku akan kambuh setiap aku makan makanan yang berbau seafood secuil pun.Mamaku menganggukkan kepalanya. “Mama cuma mau bilang itu aja. Sekarang kamu bisa lanjutin lamunan kamu lagi.” Mamaku beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan aku.
***
HPku berbunyi. Suara Chantal Kreviazuk dengan Leaving on The Jet Planenya melantun dari speaker HPku. Aku yang semula sedang berada di kamar mandi berlari keluar.Nama Gigi tertera di layar HPku.
“Ya, Gi????” Aku menjawab telponnya.“Na, gawat banget!” Gigi berteriak.“Apanya yang gawat sih???” tanyaku heran. Pagi-pagi begini gak ada lagi menurutku yang lebih gawat selain teriakannya Gigi.“Niki,” jawab Gigi singkat.
“Kenapa Niki?”“Niki nangis,” jawabnya. Aku mengernyitkan dahiku.
“Nangis???” tanyaku heran. Di antara kami rasanya hanya Tatalah si manusia selang air yang bisa menangis di depan siapa aja.“Lu kesini deh. Ke rumahnya Niki. Gue sama Tata udah disini kok.”“Ok. Gue kesana. I just need few minute,” jawabku cepat. Aku langsung melempar HPku ke tempat tidur, mengambil bajuku di lemari pakaian dan segera memakainya.
“Ma…” teriakku.Mamaku yang sedang berada di dapur melongokan kepalanya. “Kenapa, Na???” tanya mamaku heran melihat aku berlari-lari turun tangga.“Aku ke rumah Niki dulu ya.”Mamaku tersenyum. “Jangan pulang lama-lama ya. Mama masak cah kangkung kesukaan kamu. Ntar ajak aja Tata, Gigi, dan Niki makan siang di sini.”“Mereka pasti tidak akan menolaknya.” Aku mencium pipi mamaku kanan dan kiri kamudian berlari ke luar rumah.
Aku memarkir mobilku tepat di depan rumah Niki. Aku langsung pergi ke kamar anak itu. Tata dan Gigi sudah menunggu di sana. Aku terdiam. Niki memang sedang menangis, bukan bohongan. Aku mendekati Niki dan mengelus punggungnya. Niki yang sesenggukkan mengangkat kepalanya.“Na, hari ini setahun meninggalnya Bagas,” isak Niki.Aku menggigit bibirku. Cuma cowok itu yang bisa bikin Niki menangis. Aku tidak pernah berjumpa cowok itu. Aku hanya dikasih tau cerita lengkapnya setelah dia meninggal karena kecelakaan. Saat itu aku masih sekolah. Jadi, belum bisa pulang. Sebelum aku bertemu cowok itu, dia sudah pergi jauh.“Gue tadi niatnya mau ngajakin Niki sama Tata main ke rumah lu. Sewaktu gue ke sini mau jemput Niki tau-tau ni anak sudah menangis kaya gini.” Gigi menjelaskan. “Terus gue telpon Tata. Tapi, rasanya cuma lu yang bisa bikin dia tenang,” lanjutnya lagi.Aku mengalihkan pandanganku dari Gigi ke Tata. Tata hanya mengangkat bahunya tanda menyerah. Aku menarik nafasku. Diantara kami berempat Niki dan Tatalah yang sering curhat kepadaku. Gigi lebih suka menyimpan rahasianya sendiri sama sepertiku. Atau mungkin dia lebih suka curhat sama Tata karena sama Tatalah dia lebih dekat.
“Nik. Dengerin gue. Lu gak bisa kaya gini terus. Lu gak boleh terus-terusan menyesal kaya gini.”Niki masih sesenggukan. “Gue udah berusaha, Na. Tapi perasaan menyesal ini gak mau hilang. Gue bener-bener dibikin sakit, Na,” isak Niki.
“Nik, menangis gak akan mengurangi penyesalan lu jugakan. Kenapa lu lebih memilih menangis daripada bersikap tegar kalo dampaknya justru sama saja.”“Na, gue bukan lu. Gue gak sekuat lu yang bisa menyelesaikan masalah lu dengan lebih bijaksana.” Aku menghela nafasku. Tertawa pahit dalam hati. “Tadi pagi waktu gue bangun tidur tiba-tiba aja ada telpon dari Arif. Katanya malam ini ada acara setahun meinggalnya Bagas. Tiba-tiba air mata gue keluar begitu aja dan gak bisa berenti sampai sekarang.”“Kalo seandainya gue gak menggantung dia kemaren dia gak bakalan terus-terusan ngejar gue. Gue terlalu banyak berpikir sampai akhirnya gue terlambat. Gue bahkan gak bisa melihatnya untuk terakhir kali,” lanjutnya lagi masih terisak. Aku memeluk Niki. Tubuhnya bergoncang hebat. Aku bisa merasakannya.
“Sabar ya, Nik.” Memang tidak ada kalimat yang bisa terlontar dari mulutku. Kalo aku Niki pun aku juga akan merasakan hal yang sama. Walau aku tidak menyukainya pun rasa menyesal itu pasti tetap ada, apalagi kalo nama terakhir yang disebutnya adalah nama aku.
“Gue tau lu nyesel, Nik. Tapi lu gak bisa gini terus dong. Lu kan masih punya kehidupan yang harus lu jalanin. Gimana lu mau menjalani hidup lu itu kalo rasa bersalah lu malah lu pelihara di dalam diri lu.” Aku melepaskan pelukanku dari Niki. Tata dan Gigi memegang erat bahu Niki. Mungkin tujuannya untuk memberinya kekuatan.“Iya, Nik. Bagas juga gak bakalan senang kalo ngelihat lu kaya gini mulu.” Tata akhirnya membuka mulutnya. Sementara Gigi hanya menganggukkan kepalanya.“Pokoknya nanti malem lu harus ke rumah Bagas. Kita-kita bakal nemanin lu kok,” Lanjutku lagi.Niki memandangku lekat. “Tapi gue takut.”“Apa yang lu takutkan??”“Gue takut tambah sedih. Gue takut tambah merasa bersalah,” jawab Niki.“Nik, dengerin gue deh.” Aku mulai tidak sabar. “Sampai kapan lu mau lari dari kenyataan. Bagas sudah meninggal dan itu bukan karena lu. Soal sempat gak sempatnya lu menjawab pernyataan cinta Bagas itu karena memang sudah harus begitu. Sudah ada yang mengatur semuanya jadi lu gak boleh terus-terusan merasa bersalah. Hargailah apa yang telah dilakukan Bagas sama lu dengan tidak terus-terus menyalahkan diri lu,” jelasku panjang lebar.
Niki mengelap air matanya. “OK. Kita ke rumah Bagas nanti malam.” Aku, Gigi, dan Tata tersenyum puas. Niki memang tipe cewek yang keras kepala. Membuatnya menurut itu sama saja dengan menciptakan satu lagi keajaiban dunia.“Oh, iya. Ke rumah gue yuk. Nyokap ngajak makan siang di rumah.” Aku sengaja mengalihkan pembicaraan. Pokoknya jangan bikin Niki nangis lagi deh. Bujukinnya capek. Dia gak seperti anak kecil yang bisa langsung diam jika dikasih permen atau ice cream kalo lagi nangis.Tata dan Gigi tersenyum senang. “Yuk pergi sekarang.” Gigi menarik tangan Niki. Niki hanya menurut. Dia mengambil tasnya dan pergi menyusul aku dan Tata yang sudah keluar kamar mendahului mereka.
***
Aku melempar tas tanganku. Aku baru pulang dari rumah Bagas. Baru kali ini aku melihat wajah Bagas melalui fotonya. Gak banyak yang bisa aku tangkap dari foto itu karena itu hanya sebuah foto. Mana bisa kita mengenal orang lain kalo hanya dari fotonya saja. Niki sama sekali tidak mengeluarkan air matanya sewaktu di rumah Bagas. Aku jadi heran, padahal pagi tadi dia udah bisa bikin kolam air mata gara-gara menangis sepagian.
Aku menghempaskan diriku di tempat tidur. Aku jadi berpikir, kenapa sih banyak cewek yang menangis gara-gara cowok. Kenapa kita lebih takut ditanggilan sama cowok dibandingkan sama Tuhan yang menciptakan kita.
Aku menarik nafasku. “Abil…,” gumamku. Kenapa justru wajah dia yang mampir di otakku sekarang. Selama aku pulang aku belum ada bertemu dengannya. Terakhir aku ketemu sewaktu di rumah Tata. Waktu itu lebaran, Abil menemani temannya yang dulunya mantan Tata.Aku kembali teringat pertemuan itu. Pertemuan yang bodoh. Benar-benar memalukan. Disanalah sebenarnya pertama kali aku berbicara dengannya setelah sekian lama aku mengacuhkannya. Semuanya itu gara-gara Niki yang berisik. Kalo bukan karena Niki yang terus-terusan menggodaku aku tidak akan keluar dari persembunyianku dan tidak akan bertemu dengan dia.Sewaktu mereka datang, Abil dan temannya itu. Niki dan Tata sedang ada di dapur. Kami sedang membuat tiramisu. Jadi aku menunggui tamunya Tata itu yang memang sudah bikin janji sama Tata di ruang tamu. Tapi, aku tidak tahu kalo ternyata dia datangnya sama Abil. Waktu itu Gigi gak ikut. Gigi tinggal sama neneknya. Gigi orang kedua yang susah diajak kemana-mana setelah Tata. Bedanya sih Tata karena dilarang sama Natan, sedangkan Gigi dilarang sama neneknya.Wah… sewaktu tau ada Abil aku langsung ngacir ke belakang. Aku suruh Tata yang buka pintu. Awalnya mereka heran kenapa aku malah lari, padahal tugaskukan emang nungguin mereka. Tapi, tu cewek usil berdua langsung senyum-senyum menyebalkan sewaktu melihat Abil di hadapan mereka. Awalnya aku bersembunyi di ruang tengah. Tapi gara-gara Niki yang terus-terusan memanggil-manggil namaku aku terpaksa menyerah dan pasrah keluar dari persembunyian. Alhasil aku jadi bahan olok-olokkan mereka.Tapi saat itulah aku kembali bisa mengobrol dengannya. Bisa berbicara bebas. Setelah bertahun-tahun akhirnya kami bisa saling mengobrol lagi. Tertawa bersama, bercanda, pokoknya semuanya deh. Aku gak tau apa itu saat membahagiakan atau justru saat yang menyedihkan bagiku. Rasanya aku semakin nelangsa aja setelah ngobrol sama dia karena aku sadar hanya aku yang memendam perasaan suka sama dia sedangkan dia gak mungkin. Gak mungkin lagi ada perasaan sukanya seperti dulu setelah apa yang aku lakukan sama dia. Dia mau ngomong ama aku aja itu sudah ajaib banget. Yah… aku hanya bisa pasrah. Inilah yang namanya hidup. Tapi, kenapa sih cinta pertama aku harus mengenaskan seperti ini. Dan parahnya lagi aku gak tau kapan perasaan ini akan berakhir karena aku bukan tipe cewek yang bisa berpindah kelain hati begitu saja. Kalo bisa pasti dari kemaren aku sudah suka sama orang lain.
Actually, sampai sekarang gak ada satu pun orang yang pernah menyatakan cinta sama aku. Selama ini aku merasa mungkin karena aku bukan termasuk tipe cewek yang disukai sama cowok. Karena, kalo udah dekat cowok aku kayak mayat hidup, kaku. Mungkin gara-gara itu gak ada satupun kaum adam yang bisa tahan didekat aku lama-lama.
Ketiga sahabatku itu selalu bertanya, masa sih aku gak pernah suka sama cowok. Aku pengen cerita. Tapi kalo aku cerita mereka malah bertanya siapa dan aku harus menjawabnya. Dan kalo mereka tau semuanya, aku gak tau apa yang akan mereka katakan tentang aku. Mereka bahkan pernah menanyakan jangan-jangan aku lesbi. Aku langsung meledak marah dan bilang gimana aku bisa suka sama cewek kalo sekarang justru ada cowok yang aku suka. Nah…… Kadang jawaban di saat-saat terjepit justru jawaban yang membawa malapetaka bagi kita. Ketika mereka mendesakku untuk menjawabnya, aku hanya bilang kalo aku suka sama teman sekelasku yang entah siapa namanya aku sebutkan, aku lupa.
Sebenarnya, aku gak mau kalo mereka justru memojokkan aku kalo aku berkata jujur karena semua temanku itu tahu tentang pengalaman bodohku sewaktu SD dulu. Nikilah penyebarnya karena dia teman satu sekolahku saat SD dan kami sudah dekat saat itu. Ketakutan yang stupid memang, tapi inilah kenyataannya.
Aku memeluk gulingku. Semua cerita kembali berputar di kepalaku seperti kaset yang diputar ulang. Sekarang aku memang benar-benar merasakan karma Tuhan.
***
Aku masuk ke mobilku. Hari ini aku ada janji sama teman-temanku. Besok aku harus kembali ke Jakarta karena kuliahku akan segera dimulai. Jadi, hari ini kami mau jalan-jalan sepuas hati. Tata juga harus kembali ke Medan karena dia kuliah di sana.
Rencananya hari ini kami akan hanging out di café langganan kami. Biasanya kami hanya minum-minum saja karena Niki merupakan tipe cewek yang paling anti ngeluarin duit banyak-banyak. Katanya itu ilmu akuntansinya. Padahal aku juga kuliah di jurusan akuntansi tapi gak sampai segitunya pelit sama duit.
“Na, kapan lu pulang ke sini lagi?” Gigi membuka mulutnya. Ditinggalin berdua Niki benar-benar musibah buat dia. Niki itu cewek usil yang suka bersenang-senang di atas penderitaan temannya dan Gigi selalu jadi korbannya.Aku mengaduk cappuccinoku. “Enam bulan lagilah. Guekan gak mungkin pulang sering-sering kesini, bosan gue ngelihat kalian mulu.”Gigi cemberut. “Ditinggal lagi deh gue sama parasit satu ini.” Gigi menjitak kepala Niki sementara Niki hanya cengengesan. Menyiksa Gigi merupakan hobinya yang ada diurutan pertama. Diantara kami hanya Niki yang paling easy going, Tata paling cantik, dan Gigi paling disukai cowok-cowok, sedangkan aku hanya Nana si superwoman yang selalu menyembunyikan perasaannya.“Lu pulang besok juga, Ta?” Kini giliran Niki bertanya kepada Tata. Serius deh… tidak ada tampak tanda-tanda di wajah Niki kalo beberapa hari sebelumnya dia lagi desperate banget gara-gara Bagas, paling setahun lagi sewaktu memperingati dua tahun meninggalnya Bagas baru tu anak menangis lagi.“Gue lusa,” jawab Tata singkat. Sejak tadi dia sibuk dengan HPnya. Lagi membalas SMS dari Natan. Cowok itu udah kaya petugas sensus, nanya ini itu sama Tata. Heran deh, susah banget cowok itu bisa percaya sama ceweknya. Sewaktu di jalan tadi kami melihat beberapa penguntit yang merupakan pesuruh Natan. Bikin emosi aja.Niki memandang Tata sebal. Dia mengambil HP Tata.
“Niki… jangan nyebelin deh.” Tata berusaha menyambar HP itu tapi bukan Niki namanya kalo bisa ditakhlukan dengan mudahnya.“Lu sih… udah jelas ini hari terakhir kita sama-sama lu masih aja smsan sama pacar posesif lu itu. Besok lu buat dia deh, kita-kita gak bakalan nguntitin lu,” sindir Niki.“Iya, Nik. Matiin aja HPnya.” Gigi memberi dukungan. Aku hanya diam masih sibuk dengan cappuccinoku.
“Jam berapa besok lu berangkat?” tanya Gigi.Aku mendongak menatap Gigi. “Gue berangkat pagi. Siang gue harus sudah di kampus, ada yang mau diselesain.”“Kami anter ke bandara ya?” Tata memandangku.Aku menggelengkan kepalaku. “Gak usah deh.” Walaupun aku senang kuliah di tempat jauh tapi meninggalkan orang-orang yang aku sayangi tetap aja bikin aku sedih.
“Lu kenapa sih selalu gak mau dianter kalo berangkat??” tanya Niki sebal. “Tata aja selalu minta anterin ke bandara kalo dia mau pulang ke Medan,” lanjutnya lagi.Aku tersenyum. Sebenarnya aku gak mau mengakui kalo aku sedih ninggalin mereka karena mereka bisa jadi sangat menyebalkan setelah itu. “ Males aja. Gue gak bakalan bisa sampai di bandara tepat waktu kalo yang ngaterin gue itu kalian. Tata dandannya lama, Gigi harus minta izin sama neneknya dan itu membutuhkan waktu satu jam, kalo lu Nik lu susah banget bangun pagi. Yang ada gue bisa ditinggal pesawat. Jangan harap deh gue mau…”Ketiga sahabatku hanya bisa mengangguk pasrah. Untung saja aku tipe cewek yang pandai ngomong. Aku paling pintar mencari alasan, rasanya sejauh ini belum ada satu pun orang yang aku kenal bisa menandingi keahlianku yang satu ini.“Jadi enam bulan lagi deh kita bisa ngumpul??” Gigi membuka mulutnya.Aku dan Tata menganggukkan kepala.
“Makanya, Neng kuliah di tempat lain dong, masa kalian berdua mau berkurung di sini mulu. Gak bosan apa…” Tata tertawa.“Tunggu deh cair kutub utara dulu baru nenek gue tersayang mau ngasih izin ke gue,” dengus Gigi kesal. Aku sebenarnya tidak begitu tau dengan silsilah keluarga Gigi karena seperti aku bilang sebelumnya Gigi memang cewek yang tertutup.
“Kalo gue, tunggu pohon mangga di depan rumah gue berbuah durian baru nyokap bolehin gue kuliah di kota lain,” tambah Niki. Waktu SMP aku dan Niki selalu lari dari rumah jika ingin ikut kemah pramuka. Kami selalu tidak dapat izin dari orang tua kami. Tapi untungnya orang tuaku
Aku hanya tersenyum. “Wah… kalo itu masalahnya kita-kita gak bisa bantu lagi,” jawabku yang disambut tawa Tata dan gumaman kesal Gigi dan Niki.
***
Aku menghembuskan nafasku berat. Hari ini aku kembali lagi ke Jakarta. Kembali pada rutinitas kuliahku.
“Gak ada yang ketinggalan lagi??” tanya mamaku ketika aku membuka pintu mobil. Ini sudah kesekian kalinya mamaku menanyakan pertanyaan yang sama.
Aku mendelikkan mataku bosan. “Udah, Ma,” jawabku.
“Jangan kaya kemarin lagi. Mama dan Papa jadi kalang kabut ngirimin diktat kamu karena lupa kau bawa,” lanjut mamaku lagi lebih ke arah omelan.
Papaku tersenyum. “Udah.. masuk!!! Bentar lagi pesawatnya take off.” Aku dan mamaku berjalan mengikuti papaku yang sedang mendorong travel bagku.
“Hati-hati ya, Sayang!!” Mama mencium pipiku kanan dan kiri. Aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku.
“Jangan macam-macam ya disana. Jaga diri baik-baik.” Papaku juga membuka mulutnya.
Kali in aku tertawa. “Tenang aja, Pa. Aku bakalan selalu jadi anak baiknya Papa.” Papa balas tertawa. Dia mengusap rambutku.
Aku pergi meninggalkan kedua orang tuaku menuju ke pintu keberangkatan. Aku kembali menghela nafasku. Aku selalu pengen menjadi manusia baru setiap meninggalkan kota kelahiranku ini. Pengen bisa menjadi diri aku yang sebenarnya tanpa embel-embel superwomanku lagi. Aku benar-benar lelah. Banyak hal yang ingin bisa aku bagi dengan orang-orang terdekatku tapi selama ini cerita itu hanya sampai di kerongkonganku saja, tidak pernah berhasil terucap dari mulutku.
Berat langkahku setiap ingin berangkat dari kotaku ini. Banyak masalah yang menggantung yang aku tinggalkan. Awalnya aku berharap dengan kepergianku jauh ke tempat lain bisa mengikis problem aku yang ada di kota ini, tapi nyatanya tidak. Tidak ada perubahan. Aku tetap begini-begini saja. Tetap cewek bodoh tapi berharga diri tinggi dengan topeng kebijaksanaan dan kekuatan sebagai perisai.
Aku ingin sekali berteriak di hadapan mereka semua, ini bukanlah aku. Aku bukanlah superwoman seperti yang mereka kira selama ini. Aku juga cewek lemah yang butuh uluran tangan seorang sahabat. Tapi, aku benar-benar gak bisa ngapa-ngapain lagi. Semuanya telah terlanjur terjadi. Penyesalan memang selalu terjadi belakang. Harga diriku yang aku letakkan terlalu tinggi inipun sekarang sulit untuk aku jangkau.

Rangkaian Asa Menyelimuti Anak Lalu Dalam Impian

Menatap hari penuh kepedihan

terluka dan bersedih

kesabaran dan ketegaran

berjalan melawan keputusasaan
Teman adalah sebuah angan dan impian

penuh kebaikan dan keburukan

teman adalah dua persimpangan

kebersamaan dan kehancuran
Rasa percaya hilang berserakan

hancur termankan oleh ke egoan

yang tersisa hanya kesendirian

dalam hari…waktu…dan tahun…
kini hanya satu kata

yang ada dalam hidupku…

” kesendirian ”

Keyakinan Hati

Kadang aku bertanya

Apakah bahagia akan datang ?
Kadang aku menolak

dengan semua takdir yang digariskan untukku
Tapi ada satu keyakinan

yang membuat aku tegar dalam melangkah
Bahwa…

Tuhan akan memberiku

Pelangi di setiap badai

Senyum di setiap airmata

Berkat disetiap cobaan

Lagu indah disetiap helaian nafas

dan jawaban disetiap doa.

Muak Tuk Memuja

Di saat aku tahu apa yang kau lakukan di belakangku

Aku pun mulai berpikir apa kau memang masih yang terbaik untukku??

Rasa kecewa kini meyakinkanku untuk tak lagi percaya padamu
Manis kata - katamu, tapi menyakitkan tingkah lakumu

Manis hanya di depanku tapi menyakitkan di belakangku

Tak seharusnya kau lakukan itu
Cinta yang t’lah kuberi seakan tak pernah kau hargai

Tak kau pedulikan bagaimana perasaanku

Tak kau pedulikan bagaimana rasa hatiku
Di saat ku beranjak tuk meninggalkanmu

Kau berjuang mempertahankanku, kau memohon kepadaku

Untuk tak pergi darimu..

Adilkah itu????
Menyakitkan…

Dulu kumemujamu..

Sebisa mungkin yakinkan diriku bahwa kau yang terbaik untukku

Tapi setelah aku tau busuknya dirimu, ku tak akan pernah memujamu lagi

Bahkan ku menganggap kau orang yang paling kejam di dunia ini..
Andai ku bisa meyakinkan diriku dari dulu

Mungkin skarang aku takkan merasa seperti ini

Tak pernah menyimpan rasa benci
Dan rasa benci itu semakin terasa

Saat ku ingat kau telah yakinkan semua orang yang kukenal bahwa ku hanya milikmu

Dan di saat mereka percaya????

Lihat apa yang kau lakukan???

Kau membohongiku…..

Saat Embun Tak Kunjung Datang

Kutersudut di ujung tembok yang gelap


Di kala hati mati terkuras luka


Menganga menimbulkan nanah berbau bangkai


Ku tak sanggup


Ku tak mampu…..


Tutupi luka dengan tangan ini


Terlalu lebar hingga tangan ini tak patuh


Terlalu dalam hingga menembus punggung
Apalah guna manusia bangkai ini


Tercampak menyungkur tanah


Jilati sisa embun yang mungkin terselamatkan


Namun semua percuma


Embun itu hilang terserap tanah, aku terus menggali


Harapkan ada setetes embun yang mungkin tak pernah ada
Mimpi, kuyakin ini mimpi


Ku tertunduk menatap bintang


Harapkan pagi segera menjelang


Namun tak kunjung datangku menangis, lalu kurobek mata ini…..ku terhempas
Ku kumpulkan serpihan embun berwarna darah


Tercecer basahi tubuh


Ku menjerit, ku tertawa, ku meringis………


Ku tak merasa apa-apa


Karena kini, ku bangkai berhati mati
Apa guna diri kini


Seonggok daging tak berhati


Ku yang terduduk diam


Kini dalam kesunyian malam


Temani gelap yang pekat


Menunggu embun dalam tanah berbatu.

Waktu

Pagi

Kuawali hari

Mencari setitik rejeki

Dengan sepenuh hati


Siang

Kuuntai benang-benang

Meski kotor karena usang

Kulakukan dengan riang


Sore

Ingin kunikmati sate

Ingin kunikmati tempe

Ingin kunikmati air jahe


Malam

Cahaya matahari mulai padam

Segera kupakai jaket kusam

Pulang .. berjalan…di gelap malam

Apa Ini yang Namanya Cinta?

Sejak pertama kali bertemu denganmu

Kurasa ku tlah jatuh cinta pada pandangan pertama

Bayangmu selalu menghiasi hari-hariku

Pikiranku berjalan tak menentu

Anganku seolah melayang-layang di awan

Apa ini yang namanya cinta?

Nasihat Penikahan

Abang,

Ibu bilang habis menikah kau akan menghajarku

Memakiku karena tidak punya pekerjaan

Berseloroh aku hanya pembantu rumah tangga yang tak punya harga


Abang,

Ibu bilang habis menikah kau akan rampas gajiku

Menutup lubang-lubang yang tak sanggup kau talangi dari kayuhan becak

Malamnya kau akan menyetubuhiku tanpa minta maaf


Abang,

Ibu bilang di awal kau akan maklum kugunakan uangmu

Namun nanti di tengah kawah kebosanan, kau minta ganti

Saat terbelalak melihat dompet melompong dan rambut beruban,

kau suruh aku kerja lagi, mencuci di kali

Tak izinkan aku nikmati masa tua meski raga meretas renta
Ibu bilang wajah manismu sekarang itu fana

Lihat saja kalau sudah hidup berdua,

pedas katanya”Tuh contohnya,” ia mencibir ke Bapak di hadapannya.


Abang, haruskah aku percaya?

November

Dinginnya malam tidak mengurungkan niatku untuk menyusuri jalanan sepi ini. Angin malam yang berhembus seakan-akan melantunkan melodi indah di telingaku, ditambah dengan suara gemerisik dedaunan. Aku menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Ya, menghela napasku seakan-akan jiwa ini keluar dari raga menuju ke suatu tempat yang sangat aku rindukan.
Daun yang berjatuhan dan terseret angin menemani langkahku menapaki jalan ini. Tidak seperti sekarang, dulu biasanya langkahku ini ditemani oleh langkah kaki seseorang yang pernah berjalan denganku di jalan ini. Seseorang yang selalu tersenyum hingga keriput di wajahnya bermunculan sambil menjunjung keranjang di atas kepalanya. Sementara tangan kanannya selalu menggenggam tangan kiriku dan yang kirinya sesekali menahan keranjang yang ada di atas kepalanya.
Lamunanku buyar ketika tiba-tiba ponselku berdering. Kurogoh sakuku dan melihat ada SMS yang ternyata hanya dari customer service provider-ku. Namun sejenak kupandang ponselku hingga membawa anganku kembali ke suatu waktu ketika aku baru membeli ponsel ini. Aku ingat pada waktu itu aku berkeliling kota untuk menjual ponsel bututku hingga malam tiba. Sesampainya di rumah, aku tersenyum pada seseorang yang sering berjalan beriringan di sini menunggu di rumah. Masih kurasakan juga hangat telapak tangannya di ponsel ini.
Anganku pun mulai terbang lebih jauh lagi hingga tiba-tiba terdengar olehku suara ribut dari sebuah rumah yang tepat berada di sampingku. Rumah itu hanya berdindingkan papan di bagian depannya sehingga telingaku mampu menangkap getaran suara itu. Kemudian aku berhenti sejenak, kucoba untuk mendengar lebih seksama, ternyata ada pertengkaran, mungkin antara suami-isteri. Terdengar juga olehku suara tangisan anak-anak. Aku menghela napas lagi, kemudian berbisik pada diri sendiri, “Ternyata mereka lebih parah.”
Langkahku aku lanjutkan menapaki jalan selanjutnya yang sedikit berbatu dan melewati kegelapan yang sepertinya tiada ujung. Wajahku menengadah ke langit itu. Kulihat satu bintang kecil yang berkilauan di tengah-tengah gelapnya langit, kemudian tersenyum. Bintang kecil itu kelihatannya tersenyum riang padaku. Langit yang benar-benar gelap tidak dia pedulikan. Mungkin dia menyadari walau kegelapan biasanya diidentikkan dengan sesuatu yang buruk tetapi sebenarnya langit gelap itu bisa membuatnya tampak berkilauan. Melihat bintang kecil itu, mengingatkanku lagi pada seseorang itu lagi, seorang wanita yang selalu dapat tersenyum lembut dan tertawa lepas layaknya kapas yang terbang terbawa hembusan udara seperti tidak ada beban yang dia bawa, walaupun dia tahu dia akan ditelen oleh kegelapan itu suatu saat. Beberapa waktu dia masih bisa bertahan dalam kegelapan, namun seiring waktu berjalan, kakinya tidak lagi kokoh sama seperti pilar yang rusak oleh karena cuaca semakin buruk. Sekarang jangankan mencoba untuk menerobos kegelapan dengan meraba-raba, satu langkah saja pun tak mampu dia ciptakan. Dia hanya bisa terdiam membisu, tak ada tawa maupun tangis.
Masih kuhafal setiap detail raut wajahnya sewaktu berada di rumah sakit. Kulitnya mulai menipis hingga tulang-tulang dalam tubuhnya menonjol dan matanya sayu tidak menunjukkan ekspresi. Yang kulihat dari matanya hanyalah kekosongan yang sepertinya dia pun menyadari bahwa dia akan merasakan kehampaan itu. Kemudian tampak juga rambutnya mulai menipis sampai-sampai kulit kepalanya kelihatan. Uban merajai rambut di kepalanya dan rambutnya kering.
Waktu itu aku menjenguknya di rumah sakit. Dia memintaku menyisir rambutnya dan menaburi bedak di leher dan punggungnya yang tidak lagi mulus. Ada banyak bintilan kecil di daerah leher dan punggungnya, kata perawat, itu karena dia kurang bersih jadi punggungnya harus dilap dan ditaburi bedak agar bintilan-bintilan kecil itu menyingkir. Sembari aku menyisir rambutnya dan menaburi bedak, dia hanya diam. Jika aku bertanya sesuatu, dia hanya mengangguk atau menjawab dengan suara yang samar-samar. Getaran suaranya yang dulu lantam sekarang hampir tidak mampu ditangkap oleh telingaku.
“Aduh!” tiba-tiba sebuah batu kecil membuatku tersandung dan jatuh. Kulihat lututku sedikit terluka, lalu aku pun duduk di jalan itu. Kutanggalkan ransel dari punggungku dan mengambil plester di salah satu kantongnya. Selagi mengambil plester dan menempelkannya pada lututku, aku kembali menengadah ke langit. Kucari-cari bintang kecil tadi apakah dia masih berada di atas sana, namun tidak kutemukan. Langit semakin gelap tanpa satu bintang pun. Bintang kecil tadi mungkin kesepian di sana sementara tenaganya mulai surut sehingga tidak ada yang membantunya untuk bertahan dan akhirnya tenggelam dalam kegelapan malam.
Setelah selesai menempelkan plester, aku pun mencoba untuk berdiri dengan kekuatanku sendiri. Biasanya wanita itu selalu membantuku berdiri jika aku terjatuh dan tidak lupa membersihkan lukaku sebelumnya, bahkan sampai aku sebesar sekarang ini. Aku tersenyum sendiri mengingat itu. Namun ekspresi wajahku seketika berubah ketika mengingat bintang yang hilang tadi. Seiring waktu berlalu, sama seperti bintang itu, cahaya yang dulu terpancar begitu kuat dari dalam diri wanita itu semakin redup. Ingatanku kembali ke suatu subuh ketika aku melewati jalanan kota yang masih sepi menuju rumah sakit tempat wanita itu dirawat. Sesampainya di sana, aku hanya bisa memandangi dia tidak sadar menggigit-gigiti bibirnya sendiri, terdengar juga suara gemeretak giginya. Ketika dia terbangun, dia seperti tidak mengingat apapun lagi. Aku masih ingat dia bertanya pada kami kalau dia sedang berada di mana. Aku curiga apakah benar dia tidak sadar kalau dia di rumah sakit. Mengapa dia bertanya seperti itu? Aku mengambil persepsi kalau sebenarnya dia seperti itu karena hasratnya ingin keluar dari tempat ini dan bangkit kembali mungkin akan sulit dia gapai.
Jiwaku semakin takut wakut itu, takut kalau-kalau kehampaan itu akan menghampirinya. Rasa takut ini semakin bertambah ketika dia bercerita tentang mimpinya bahwa ada yang mengejar-ngejar dia untuk membunuhnya. Pada saat itu aku berharap kalau itu bukan suatu pertanda buruk, walau sebenarnya batin ini telah dipenuhi rasa takut. Tetapi kucoba untuk mengacuhkannya. Aku pun pulang. Namun masih ada sesuatu yang mengganjal di hati ini, yaitu ekspresi wajahnya ketika melihat aku!
Pada hari itu juga ternyata semua yang kukhawatirkan terjadi. Sering terpikirkan olehku namun aku tak pernah menyangka ini akan terjadi. Pilar yang mulai goyah oleh karena retakan-retakan yang disebabkan cuaca buruk itu akhirnya roboh juga, matanya yang dahulu bersinar akhirnya harus tertutup oleh kegelapan, telapak tangannya yang begitu hangat kini menjadi dingin, suaranya yang lantam sekarang tak lagi terucao dari bibirnya, telinganya yang selalu mendengar rengekanku tidak bisa lagi mendengar apapun, tidak ada perasaan apapun lagi padanya dan semua belenggu telah lepas darinya. Ah! Begitu bahagianya dia, pikirku. Padahal, aku berencana akan kembali menemui dia. Pakaian-pakaiannya yang akan dia kenakan esok hari telah kusiapkan dalam tasku. Namun, ternyata semua tidak berguna lagi ketika ponselku berdering. Ada perasaan begitu bersalah yang berkecamuk dalam dada. Kenapa aku tidak menemaninya tadi? Dan kenapa aku mengucapkan kata itu tadi siang pada temanku?
“Mati!” Ya, kata itu yang tanpa kusadari keluar dari mulut ini ketika temanku bertanya mengapa wanita yang adalah ibuku itu tidak ikut mengantar aku, sementara yang lain bersama ibunya.
Namun, semua telah berakhir! Banyak yang disesali namun tak dapat diperbaiki. Meskipun dapat diperbaiki, mungkin hanya diri sendiri saja yang mengetahui. Aku kembali menghela napas dan memandang jauh ke depan.
“Life must go on!” kataku dalam hati, “But how will life go on if there is not her with us?”
Dari kejauhan telah tampak gubuk deritaku. Orang sering bilang, “Biar jelek milik sendiri”. Tetapi itu tidak berlaku bagi keluargaku. “Yang jelek pun bukan milik sendiri!” Ya, jangka waktu kontrakan rumah akan habis bulan ini. Sementara itu, biaya sekolahku dan adik-adikku pun belum dibayar. Kemudian, utang-utang Ibu juga belum terlunaskan. Sering aku berandai-andai kalau saja Ibu masih hidup pasti tidak akan seperti ini jadinya dan bibir-bibir yang bergunjing setelah kematian Ibu tidak kan menggetarkan daun telingaku, lalu wajah-wajah mereka juga tidak akan menunjukkan ekspresi sinis padaku. Aku tahu bahwa Ibu bukanlah sosok yang sesempurna yang kubayangkan selama ini, tetapi kesempurnaan yang kubayangkan selama ini tetap nyata bagiku.
Aku mengetuk pintu rumah dan segera setelah itu adik perempuanku membukakannya kemudian bertanya denga nada yang agak keras, “Kok lama kali kau pulang?”
“Tadi masih banyak yang harus dikerjakan,” jawabku.
“Tapi kan kau bisa kasih tahu…!” bentaknya.
“Maaf!” balasku.
Setelah itu tidak kugubris lagi perkataannya. Aku masuk ke dalam kamar kemudian tidur di atas tikar yang mungkin tadi digelar oleh adikku itu. Kuselimuti seluruh tubuhku dengan sarung yang beberapa bagiannya berlubang karena dulu pernah gosong terkena setrika. Kemudian aku pun menutup mata dan tidak menghiraukan ocehan-ocehannya. Sebelum pikiranku terbang, sempat juga pikiran ini singgah ke Ayah yang belum pulang dari tempat kerjanya, lalu pikiran ini juga singgah agak lama ke adik laki-lakiku yang entah di mana sekarang. Masih kuingat kata-katanya tadi siang, “Jangan cari aku lagi!”
Dia bolos sekolah selama ini. Aku heran, kok dia tega sekali berbuat itu berkali-kali. Apa yang telah meracuni pikirannya? Tanyaku dalam hati. Tapi, yang paling aku khawatirkan adalah Ayah. Dia pasti sedih sekali anak laki-lakinya tidak bisa membantu dia dan diajak untuk mengobrol.
Sejuta kecemasan memenuhi pikiranku sehingga kucoba untuk membuangnya walau hanya sementara waktu. Lalu untuk terakhir kalinya, kuhela napasku kemudian menerbangkan anganku sembari mengucapkan dalam hati kata-kata yang meringankan gundah dalam batin dan mungkin bahkan menenangkan cacing-cacing yang telah berunjuk rasa di dalam perut ini: “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.”

Kala Kau Menjemput

Cuaca sore ini tidak terlalu bersahabat. Gumpalan mendung yang menggantung berbaris rapi, membuat sang surya tak sempat berpamitan pada bumi sebelum pulang ke peraduannya. Sore begitu redup. Tidak gelap. Tidak terang. Angin yang menghempas, menusukkan kuku-kukunya yang tak tampak ke tubuhku yang hanya terbungkus kaos dalam dan dilapisi kemeja putih lengan panjang.Sore ini benar-benar tidak bersahabat. Mendung tak tahan lagi untuk tidak memuntahkan hujan yang sedari tadi bergelayut di perutnya yang semakin buncit saja. Tik-tik-tik hujan mulai terdengar di atap halte bis yang terbuat dari seng, tempat aku menunggu jemputan Rifqi, anakku.“Bila waktu telah memanggil. Teman sejati tinggallah amal. Bila waktu…,” tiba-tiba ringtone SMS hapeku berbunyi. Ini adalah lagu kesayangan istriku. Aku sebenarnya tidak terlalu suka dengan lagu ini, tapi istrikulah yang mensetting ringtone hapeku. “Biar ingat,” katanya, ketika kutanya mengapa dia memilih lagu itu sebagai ring tone hapeku.Kurogoh hapeku dari saku celana. Kubuka.
New messageShow
Istriq SayangAss. Mas, maaf rifqi pling tlt jmpt,coz td adk mnyrhnya k aptk bli obt wildan.wass
Sender:Istriq Sayang
Sent:17:06:2626:03:2007
Waah!! Alamat kemaleman di jalan. Kalau sudah sore begini tak akan ada bis kota jurusan ke rumahku lewat. Kalaupun ada angkutan, itu hanya taksi dan aku harus mikir dua atau tiga kali untuk naik taksi. Bulan ini lebih banyak kebutuhan dari income. Bayaran kursus jarimatika Rifqi. Obat Wildan yang masih butuh perawatan intensive setelah operai di rumah sakit PKU Muhammadiyah akibat amandel yang dideritanya. Tagihan listrik yang tiba-tiba naik gak ketulungan. De-el-el. Budget keluargaku memang lagi seret. Naik taksi bukan keputusan yang mudah untuk kuambil. Apalagi akhir bulan begini. Biarlah aku tunggu jemputan si Rifqi, anakku yang nomer satu, yang kini duduk di kelas XI SMA.Segera kupencet kembali bola-boal mata keypad hapeku.
Options-Reply-Empty ScreenYa gpp,jg ank baik2.mas skrg d hlte bis dpn kntr.jd rfqi srh lngsung k sni.mas tnggu.Options-sent- +6281804080007-OK
Kemudian muncul di elcede hapeku
Message sent
Beberapa saat setelah itu, muncul laporan.
Delivered to:Istriq Sayang
Sepi dan dingin kembali mencengkeramku dalam penantian. Titik-titik hujan kulihat menggaris-garis udara. Angin yang turun dari langit masih saja menusuk-nusukkan kuku-kukunya ke pori-poriku. Kucoba melawannya dengan mendekap koper hitam yang penuh berkas-berkas kantor yang harus aku periksa di rumah nanti.
***
Sore hari di halte dengan hujan yang mengguyur begini, mengingatkan aku pada kenangan delapan belas tahun silam. Pada saat seperti ini aku dulu berpisah dengan “sahabatku”. Kulihat matanya memerah. Hidungnya memerah. Bibirnya bergetar saat ia mengucapkan “assalamu’alaikum”, yang terakhir kalinya. Kemudian berpaling dan melangkah ke pintu bis yang telah menunggu.Bis Putra Remaja jurusan Sumatera yang membawanya pergi dari Jogja, seakan mencibir cintaku yang tak berani kuungkapkan, hanya karena masalah yang mungkin bagi sebagian orang adalah sangat sepele, jarak yang terlalu jauh! Dia dari Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, sedangkan aku dari Selong, Lombok Timur.Sejak saat itu sebenarnya aku tidak suka pada halte, apalagi ditambah hujan di sore hari. Karena semuanya akan memaksaku untuk kembali pada kenangan yang sangat pahit, perpisahan. Kalau tidak karena hujan, atau tidak ada tempat berteduh yang lain, sebenarnya aku enggan duduk di halte ini. Sungguh!!“Ada korek, Mas?” tanya seorang pemuda dekil dengan sebatang Dji Sam Soe di jari kirinya.Entah dari mana datangnya. Tiba-tiba dia sudah ada di depanku. Membuyarkan lamunan. Mungkin dari gedung kampus di samping kantorku. Atau jangan-jangan dia datang dari angit dan turun bersama hujan. Atau dia adalah kumpulan air hujan yang diciptakan Tuhan jadi manusia, kemudian diperintahkan untuk menemaniku yang sedang dipagut sepi dan ditusuk kuku-kuku angin yang tak tampak. Entahlah. Aku sudah lelah berfikir.“Nggak ada, saya tidak merokok.”“Ooo..”
Pemuda itu kemudian duduk di dekatku. Sebatang rokok di tangannya dimain-mainkan dengan jari-jarinya yang tampak sudah terampil. Kaos oblong hitam dan celana jins yang dipakainya tampak kumal. Rambutnya yang sebahu, tampaknya juga jarang disisir. Awut-awutan. Tangannya memegang sebuah buku yang tebal. Ketika aku kuliah dulu, potongan seperti ini adalah potongan aktivis yang mahasiswa. Atau mahasiswa yang aktivis.“Mau naik bis jalur berapa?”“Tujuh”“Oo…, memangnya mau ke mana?”“Warung Boto…Mas sendiri?”“Saya nunggu jemputan anak saya. Sore begini susah naik bis ke Jakal.1 ”“Oo…”Kami kemudian sama-sama diam. Menjelajah di alam pikiran masing-masing. Aku juga tidak terlalu berminat memperpanjang obrolan. Jawabannya selalu garing! Kulihat dia juga lebih suka diam. Mungkin dia lebih suka berkomunikasi dengan sebatang Dji Sam Soe yang belum sempat dinyalakan itu. Mungkin dia lebih suka berpikir tentang tema-tema diskusi tematik yang ia susun dengan teman-temannya. Atau mungkin-mungkin yang lain. Bukankah hidup ini penuh dengan sejuta kemungkinan?Dari tikungan depan, sebuah bis kota jalur tujuh, berjalan tertatih-tatih menyeruak barisan hujan, karena muatan yang melebihi kapasitas. Seorang kenek berkaos orange lengan panjang tampak berdiri di pintu bis, berjejalan bersama penumpang.Pemuda di sampingku berdiri, melambaikan tangannya, lalu masuk ke perut bis. Mirip dengan datangnya yang tanpa permisi, ia pergi pun tanpa pamit. Ia begitu saja pergi, tanpa membekaskan kesan dalam ingatan. Inilah halte! Yang datang lebih awal tidak mesti berangkat lebih awal. Tergantung angkutan yang datang!Bis jalur tujuh terus membawanya dengan terseok-seok, menorobos hujan yang masih saja menggaris-garis di udara. Angin yang kadang-kadang menyapu dan sesekali ditingkahi dengan kilat yang mirip blitz tustel raksasa kemudian diiringi petir yang menggelepar-gelepar. Bumi bergetar. Halte bergetar. Aku bergetar.
***
Petir menggelegar. Aku tersentak.Kulihat jam di layar elcede hapeku jam 17.39. mataku sudah mulai capek, karena selalu kutempelkan ke ujung jalan sana, tempat biasanya tiba-tiba Rifqi muncul dengan motornya. Aku berharap di antara lalu-lalang pengendara yang kesetanan di sore hari ini, anakku muncul. Tapi dia tidak datang-datang. Atau belum datang. Ah…belum dan tidak bagiku sama saja tak ada bedanya.Di sampingku, kini duduk seorang kakek dengan kemeja dan celana kusam. Tak pernah disetrika. Atau barangkali jarang dicuci. Di sampingnya ia letakkan payung hitam yang masih meneteskan titk-titik hujan dari pinggirnya.Mau naik biskah? Tidak mungkn! Tidak ada bis sesore ini. Naik taksi? Orang potongan begini, aku pikir tidak mungkin naik taksi. Tidak ada tampang!! Pasti nunggu jemputan! Kalau begitu, nasibnya sama dengan nasibku.“Nunggu jemputan, Kek?” sapaku mencoba memecahkan suasana dan mencari jawaban atas praduga-praduga yang kini menari-nari di kepalaku.Kakek itu melirikku sebentar. Menatap hujan lagi.Lagi-lagi kilat menyambar. Petir menggelegar. Aku bergetar.“Apa?” tanya Kakek di depanku, sambil menatapku lagi.“Kakek, sedang nunggu jemputan?”“Kakek…selalu menunggu jemputan…”“Maksud Kakek?”“Bukankah dunia ini halte raksasa? Dan setiap orang, sadar atau tidak sadar, sedang menunggu Izrail datang menjemput.”Diam. Bisu.“Waah, ini sudah menjelang Maghrib. Kakek ke masjid sebelah dulu. Mempersiapkan bekal, kalau-kalau si Izrail menjemput dadakan. Assalamu’alaikum.”Aku hanya diam. Melongo. Kata-kataku tercekat di tenggorokan.Maghrib? Shalat? Sudah beberapa tahun ini aku tidak shalat. Izrail? Bukankah itu Malaikat Pencabut Nyawa? Kematian? Iih … ada-ada saja kakek tua itu. Aku khan masih muda begini. Mana mungkin…? Kalau dia mungkin saja harus sudah siap-siap untuk…(aku tidak punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya), dia khan sudah bau tanah. Pantas. Wajar.Lagi, kulihat jam di elcede hapeku. Jam 17.58. sayup-sayup terdengar suara adzan dikumandangkan dari masjid di bawah jembatan Gajah Wong yang kumuh. Menembus titik hujan yang masih saja berdansa dengan angin. Menyela di antara kilat dan petir. Menyapa telingaku. Ke mana anakku? Kok belum muncul juga? Atau tidak muncul juga? Bagiku belum dan tidak itu sama saja. Tak ada bedanya.“Bila waktu telah memanggil. Teman sejati tinggallah amal. Bila waktu…,” hapeku menjerit-jerit di saku celanaku. Kurogoh. Kubuka.
New messageShow
Istriq SayangAss. Mas, rifqi kecelakaan.skrg d UGD sarjito.mas cpt ke sni.wass
Sender:Istriq Sayang
Sent:18:09:1526:03:2007
Lagi, kilat menyambar. Petir menggelegar. Aku semakin bergetar dan gemetar.Sebuah taksi tiba-tiba muncul dari kejauhan. Menembus hujan yang masih saja berdansa dengan angin. Segera kulambaikan tanganku. Taksi berhenti. Aku mendekat. Kaca di samping sopir terbuka perlahan.“Ke mana Pak?” tanya sopir yang kini mengeluarkan kepalanya.“Sardjito!2″Aku segera naik. Taksi kemudian berjalan membelah cuaca yang masih saja kurang bersahabat.
***
Hujan masih saja menggaris udara di bawah lampu jalan yang kekuningan. Angin kini mendesau, menciptakan irama yang memilukan. Kilat dan petir yang menyambar-nyambar serta angin yang mendesau terasa mengiris-iris perasaan yang tak karuan. Dicekam kegalauan. Dihantui kecemasan.Dengan langkah-langkah panjang, aku berjalan menuju ruang UGD yang berada di muka Rumah Sakit. Beberapa suster tampak lalu lalang. Aku segera memasuki ruangan. Tanya seorang petugas resepsionis.“Rifqi, Bu?”“O…itu di sebelah barat.”
Tanpa sepatah kata aku segera menuju tempat yang ditunjukkan resepsionis. Segera kumasuki ruangan yang hanya disekat kain putih. Dari luar tabir, sudah kudengar tangis istriku yang ditahan-tahan. Dengan gemetar kusibak kain putih lebar di hadapanku. Di dalam kulihat bapak mertuaku, Mas Pri, tetanggaku, kemudian istriku yang dirangkul ibu mertuaku, di samping sebuah ranjang putih. Di atas ranjang tampak sesosok tubuh yang tampak mulai kaku ditutupkan panjang. Rifqikah?“Dek…,” ku raba bahu istriku.“Mas…Rif…Rifqi telah pergi selamanya,” tangis istriku kini pecah di dadaku. Terguncang-guncang. Bersedu sedan. Kudekap erat, mencoba memberi kekuatan dalam kerapuhanku yang kusembunyikan.Izrail? Kaukah yang menjemput anakku? Halte. Di mana sebenarnya halte itu? Siapa yang menjemput? Siapa yang dijemput? Siapkah kalau aku yang dijemput?
“Bila waktu telah memanggil. Teman sejati tinggallah amal. Bila waktu…,” lagu Opik kembali mengalun dari hape di saku celanaku. Tidak kuangkat, tapi kuresapi makna bait-baitnya.
Keterangan:1. Jakal adalah singkatan dari Jalan Kaliurang2. Sardjito, lengkapnya adalah RS. Dr. Sardjito

Refleksi Cinta Keyla

Keyla mengulurkan tangannya untuk mengambil sebuah nampan yang berisi setumpuk handuk kecil, sebuah sprayer, dan sekotak kecil krim pelicin. Dipandanginya benda-benda yang selalu mengisi hari-harinya itu. Benda yang membuatnya mampu bertahan dalam mengarungi kerasnya hidup ini, namun benda-benda itu pula yang membuatnya tidak mampu mengangkat muka dengan tegak, di hadapan masyarakat sekitarnya.
Masyarakat selama ini menilai bahwa pekerjaan seorang terapis, yang lebih mereka kenal dengan tukang pijat, adalah pekerjaan yang identik dengan service tambahan seperti panti pijat plus-plus. Apalagi jika pekerjaan itu dilakukan oleh seorang gadis belia seperti dirinya. Memang di usianya yang baru menginjak 19 tahun, ia harus menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Makanya dia tidak menolak ketika tetangganya yang mempunyai mitra di kota, menawarinya untuk menjadi terapis di sebuah pusat oriental refleksi.
Dengan berbagai pertimbangan,akhirnya dia memutuskan untuk menerima tawaran itu. Setelah menjalani training selama kurang lebih tiga bulan, ia akhirnya lulus dan mulai bekerja di sebuah pusat kebugaran.
Namun,ada satu hal yang ia sembunyikan selama ini. Keyla tidak mau kekasihnya sampai tahu bahwa ia bekerja sebagai tukang pijat. Di hadapan kekasihnya ia mengaku bekerja di sebuah toko sebagai kasir. Dan selama lebih dari dua tahun, semuanya berjalan lancar. Bukan hanya dalam karirnya saja, namun perjalanan cintanya pun terbilang mulus.
Hingga pada suatu hari, tragedi itu akhirnya terjadi. Saat itu Keyla dan rekan-rekannya sedang duduk-duduk di ruang tunggu, menunggu giliran mereka bekerja. Akhirnya resepsionis memanggil Keyla dan temannya untuk bekerja. Dengan penuh semangat mereka bangkit untuk mempersiapkan diri.
“Yul, kamu yang ambil air ya, biar aku siapin handuknya,” ucap Keyla pada Yulia.“OK Bos. Berangkat.”
Setelah kurang lebih lima menit direndam dengan air hangat, mereka berdua bersiap untuk melakukan pijatan.
“Key,kamu mijit yang laki ya, soalnya aku masih agak capek, tadi baru aja dapet tamu gede.”“Bereslah, serahin pada Keyla.Biar aku hajar sampai tolong-tolong,” ucap Keyla sambil mengangkat kedua lengannya untuk memperlihatkan lengannya yang kuat seperti Samsons.“OK Lets go,” lanjut Keyla.
Dengan semangat 45 mereka melangkah mendekati kedua tamu tersebut.“Cukup pak,” ujar Keyla singkat pada tamunya.“Baik Mbak, makasih,” sahut tamu itu sambil membalikkan tubuhnya menghadap Keyla.DUUUUUUUUUEEEEEEEEEEEERRRRRRRRRRRRRRRR.Bagai petir di siang bolong mengguncang tubuh Keyla begitu pria itu membalikkan tubuhnnya. Wajah yang tidak asing lagi baginya. Wajah itu selalu mengiringi malam-malamnya sebelum ia terlelap. Pria yang tak lain adalah kekasih yang selama ini dibohonginya, kini duduk di hadapannya.
Andre, kekasihnya pun tak kalah terkejut. Tak pernah ia membayangkan akan bertemu dengan Keyla dalam suasana seperti ini. Keduanya saling terpaku tanpa mampu berkata apa-apa. Sebenarnya banyak yang ingin Keyla jelaskan pada Andre, namun kerongkongannya terasa kering dan tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
“Andre!” Dengan susah payah nama itu akhirnya keluar dari bibir Keyla.Gadis yang berada di sebelah Andre tampak terkejut begitu mendengar nama kekasihnya disebut oleh Keyla.“Kamu kenal dengan mbaknya ini Mas?” tanya gadis itu dengan tatapan penuh kecurigaan.“Mungkin karena aku sering refleksi di sini kali, jadi mbaknya tahu namaku,” jawab Andre gugup dan berusaha menyembunyikan kepanikkan di wajahnya.
Keyla memandang gadis itu, dan ia segera sadar bahwa kekasih yang selama ini begitu ia cintai ternyata telah berkhianat di belakangnya. Sebenarnya Keyla sangat marah mendengar semua itu. Namun ia tak mungkin meluapkan amarahnya di tempat seperti ini, apalagi dalam posisinya saat ini.
Mungkin ini juga kesalahan dirinya, karena ia tidak berterus terang pada Andre tentang pekerjaannya selama ini. Sebab Keyla sadar bahwa pekerjaannya mempunyai image yang negatif di mata masyarakat.Padahal semua pekerjaan sebenarnya halal, tetapi tingkah laku manusialah yang terkadang membuatnya menjadi ternoda.
Waktu sembilan puluh menit untuk terapi, terasa satu tahun di gurun pasir bagi Keyla. Dan begitu semua proses terapi selesai, Keyla langsung berlari ke belakang dan menumpahkan tangis yang sudah tidak mungkin tertahankan. Semua rekan kerjanya bingung dan panik, serta berusaha menenangkan Keyla. Dan Keyla baru mampu menenangkan dirinya setelah terdengar adzan maghrib berkumandang.
Ia segera bangkit dan mengambil air wudhu, lalu menunaikan sholat maghrib.Semua beban pikirannya ia tumpahkan kepada Allah SWT. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menjelaskan semuanya pada Andre. Diambilnya HP dan berusaha menghubungi Andre, namun nomor Andre tak bisa dihubungi. Ia terus mencoba dan mencoba, namun semuanya sia-sia. Mungkin Andre sudah tak lagi peduli dengannya. Siapa sih yang mau menjadi pacar seorang tukang pijat?
Kini sudah satu bulan sejak kejadian itu terjadi. Dan selama itu ia tak mampu menghubungi Andre. Mungkin Andre lebih memilih gadis itu dan melupakan dirinya untuk selamanya.
“Key, tamunya udah nunggu tuh, jangan kelamaan.”Keyla tersentak dari lamunannya. Dan dengan hati bimbang ia melangkah keluar ruangan. Tak ada lagi kemantapan di hatinya dalam menjalankan pekerjaannya. Apakah ia harus berhenti sebagai terapis atau terus bertahan demi kelangsungan hidupnya dan keluarganya, meskipun hati dan jiwanya merasa tersiksa.

Pulang

Di lembah dimana kesunyian dan hening berkawan dengan sejuta kesedihan

Kuhempaskan diriku dalam pelukan dingin sang kabut

Hingga kutemukan matahari

Dan membawa langkahku

Ditemani ilalang dan kerikil jalan yang menemani peluhku dan letihku menuju titik akhirku mimpi panjangku
Di semenanjung dimana daratan dan lautan bercanda dalam persahabatan mereka yang abadi

Kularungkan harapanku diatas kapal karamku yang kubangun dari sejuta kekecewaan dan mimpi-mimpiku

Hingga kutemukan sang angin

Dan membawaku berlayar

Ditemani celoteh riang burung camar yang menemani sepiku

Dan ku akan pulang

Menuju awal dari kehidupanku panjangku

Liburan Kelabu

Setelah pembagian raport kenaikan kelas, sebuah gank d’ Golden Angels yang terdiri dari lima cewek cakep yaitu Caroline, Louisa, Imelda, Matilda dan Clarissa merencanakan liburan ke Puncak selama 3 hari. Mereka telah merencanakan liburan itu matang-matang. Mereka tak mau perjalanan mereka berakhir sia-sia. Oleh karena itu, mereka telah mempersiapkan berbagai keperluan yang akan dibawa,obat-obatan,makanan dan lain-lain.
Mereka menyadari bahwa mereka hanya lima orang cewek biasa dan butuh dilindungi maka Imelda dan Clarissa merencanakan untuk mengajak pacar mereka berdua ikut serta liburan ke Puncak. Awalnya, Caroline, Louisa, dan Matilda tidak setuju, karena mereka iri, mereka kan tidak punya pacar. Namun, mereka mengalah dan paham bahwa pacar Imelda dan Clarissa cukup banyak dibutuhkan selama liburan.
Pada hari Jumat pagi sekitar jam 7 pagi mereka sudah meluncur menuju ke Puncak dengan berbekal ijin dari kedua orang tua mereka dan nasihat-nasihat yang bagi mereka cukup menyita waktu. Mereka berangkat dengan menggunakan mobil Innova Charles, pacar Imelda. Yayaya Charles boleh dibilang keren, cakep, plus tajir pula, tapi sedikit mengecewakan Charles lemah terhadap cewek. Yup Charles merupakan cowok playboy. Sedangkan Imelda cewek paling cakep dengan segudang bakat. Pacar Clarissa,bernama Alexander, dia cowok yang paling dekat dengan kata perfect. Alexander merupakan cowok yang gentle, baik hati, lembut, romantis, cakep, tajir, dan segudang kelebihan lainnya. Clarissa memang cewek yang beruntung dengan bodi yang oke plus muka blasteran yang bikin mata tiap cowok tertuju padanya, dan suara yang bagai berlian. Sedangkan Caroline, Louisa, dan Matilda bukannya jelek atau nggak oke di mata cowok-cowok. Jangan salah, gank d’ Golden Angels memang terkenal dengan personel yang cakep-cakep plus kelebihannya masing-masing. Contohnya Caroline cewek imut dan tajir yang sering menyabet juara kompetisi Ballet tingkat Internasional. Loisa cewek bermuka sensual dengan kepribadian yang unik dan tergolong cewek yang jenius di sekolahnya. Lalu, Matilda cewek berparas bagai malaikat, berhati lembut, penyayang dan satu lagi kelebihan unggulannya, yaitu jago banget bermain piano. Bisa dibilang anggota dari d’ Golden Angels memang sempurna di mata kalangan sekolah. Sekolah International Blue Diamond yang berlokasi di Jakarta yang merupakan sekolah favorit saat ini.
Mereka sampai dengan selamat di Puncak pada pukul 10 pagi. Di Puncak mereka menyewa villa dengan tiga kamar tidur, namun cewek-cewek itu tidak mau tidur terpisah, mereka takut terjadi apa-apa. Dari pagi hingga sore mereka keliling-keliling Puncak merasakan hawa yang jarang mereka hirup di Ibukota dengan cara jalan-jalan di sekitar villa, pada waktu menjelang makan malam mereka naik mobil untuk mencari makan. Setelah kenyang mereka tidur di kamar yang telah ditentukan.
Keesokan harinya Louisa bangun pagi sekitar jam 7,karena saat itu dia merasa haus. Louisa keluar kamar menuju ke dapur untuk membuat segelas susu cokelat panas. Ternyata di dapur ada Charles yang sedang berusaha membuat roti isi telur, kelihatannya ia kelaparan. Tapi namanya cowok, telur yang digoreng agak hangus. Louisa tertawa kecil melihat Charles yang kebingungan. Charles melihat Louisa, ia tergoda melihat tubuh indah Louisa yang masih menggunakan baju tidur. Secara tiba-tiba Charles mengecup bibir Louisa. Louisa yang merasa kaget, terpekik tertahan. Namun ia berusaha menenangkan dirinya, ia takut Imelda dapat mendengar pekikannya. Louisa tak mau menyakiti sahabatnya sendiri. Akhirnya Charles yang sedari tadi cengar-cengir, terdiam karena tamparan Louisa yang cukup keras. Louisa mengancam Charles agar Charles tidak macam-macam pada sahabat-sahabatnya, terutama Imelda. Charles hanya diam bak patung yang kakinya tertanam di lantai.
Sekitar pukul 8 malam Charles mengeluarkan tiga botol minuman keras dari mobilnya. Hal itu membuat semua orang di sana terkejut, tak terkecuali Imelda. Mereka merasa tak pernah janjian untuk membawa botol-botol yang berisi minuman yang memabukkan tersebut. Botol tersebut bernama Jack Daniels, Martel, dan Johny Walker. Untuk mencairkan suasana Charles dengan wajah tak berdosa mengajak agar bermain kartu dimana yang kalah diharuskan menegak satu sloki. Pada awalnya mereka dengan tegas menolak ajakan Charles, tapi entah suasana villa yang mendukung atau iman mereka yang tak kuat. Akhirnya mereka terbuai menikmati permainan kartu berbahaya tersebut.
Malam semakin larut,suasana semakin panas, botol minuman pun sekarang hanya tersisa setengah botol saja. Charles yang sudah teler pun membopong Imelda yang sudah tertidur pulas masuk ke dalam kamar. Kamar tersebut akhirnya menjadi saksi bisu atas terengut paksanya kegadisan Imelda, seorang gadis belia. Alex dan keempat cewek lainnya semua sama-sama tak sadarkan diri karena terlalu banyak meneguk minuman memabukan itu. Jadi tak ada seorang pun yang mengetahui atu pun dapat mencengah tindakan Charles yang sudah terlalu kelewat batas.
Esok pagi Imelda menangis sesegukan mendapati dirinya yang sudah telanjang bulat di balik selimut dan Charles yang sedang tertidur pulas di sebelahnya. Ia sangat malu, jengkel, marah, kecewa setelah ia melihat kain sprei bebercak darah keperawanannya, dari sana ia mengetahui bahwa dirinya tak perawan lagi. Ia begitu terpukul mengetahui kegadisannya telah terengut oleh cowok yang berada di sebelahnya sekarang. Alex, Louisa, Matilda, Caroline, dan Clarissa terbangun karena mandengar suara tangisan Imelda. Mereka merasa kesulitan saat bangun, mereka berjalan sempoyongan, mereka merasa mual dan pusing akibat menegak cairan bening berwarna kuning kemarin. Mereka menuju ke kamar dimana suara Imelda nyaring terdengar. Mereka benar-benar tak percaya apa yang dilihat di depan mata kepala mereka. Mereka mengerjap-ngerjapkan mata berulang-ulang kali untuk meyakinkan mereka tak salah lihat. Beberapa saat kemudian mereka tersadar apa yang harus dilakukan mereka. Alex menyeret Charles yang sedang tertidur dan menghajarnya di luar kamar. Sedangkan keempat sahabat itu berusaha menenangkan Imelda mati-matian.
“Hancur sudah masa depanku,girls!!!!”, jerit Imelda.
“Sudahlah, semua sudah terlanjur terjadi. Sekarang pakai bajumu dan berusaha untuk tenang,Mel.”, Carol berkata denagn lembut.
“Iya, yang harus kamu pikirkan sekarang, apa yang harus kamu katakan kepada kedua orang tuamu di rumah.”, jelas Matilda.
Imelda tak berkata apa-apa, ia merasa jatuh di titik yang paling kelam dalam hidupnya. Ia hanya berusaha meraih bajunya, kemudian memakainya kembali.
“Hmm.. aku tak bermaksud membuatmu khawatir, Mel. Tapi Charles tak mungkin menggunakan alat kontrasepsi dalam keadaan seperti tadi malam, bukankah begitu?”, tanya Clarissa hati-hati.
“Aku.. aku.. aku tak tahu... Bagaimana jika aku hamil? Aku takut. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa yang harus aku lakukan, seseorang tolong beritahu aku.. Akhhhhh!!!!!”, teriak histeris Imelda.
“Sebaiknya kita menyuruh Alex untuk berhenti menghajar Charles, aku takut Charles bakla mati babak belur. Dan sebaiknya kita memastikan apakah tadi malam Charles tidak menggunakan alat kontrasepsi.”, saran Louisa.
Tak lama kemudian Alex masuk ke kamar dengan Charles yang sudah tak terlihat ketampanan dari wajah lelaki brengsek itu.
“Kamu brengsek, Charles!!!! Tak kusangka kau begitu picik. Tega-teganya kau.. kau.. Aq benci kamu!!!!”, teriak Imelda dengan suara bergetar menahan tangis.
“Tenang, Mel. Kita harus bertanya kepastian masa depanmu.”, kata Clarissa berusaha menengahi.
“Charles, apa yang kau lakukan kepada Imelda?”, tanya Louisa lantang.
“Sorry,Mel. Aku nggak bermaksud untuk merusak masa depanmu. Aku melakukannya tak sadar, aku terbuai oleh suasana disini. Sorry,Mel. Pada saat itu.. aku.. tak memakai kondom, aku menyesal telah melakukannya,Mel.”, sesal Charles.
Imelda menghambur ke tubuh Charles dan berusaha sekuat tenaga memukul dada cowok yang sudah terkulai lemah itu. Matilda menarik tangan Imelda berusaha memeluk gadis itu. Ia merasa kasihan dengan apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Imelda menangisi nasibnya yang bagai telur di ujung tanduk. Ia benar-benar terpukul. Ia merasa depresi.
Maka hari itu mereka pulang,sebagai akhir dari liburan yang menyedihkan tersebut. Mereka pulang dengan perasaan yang kalut dan bingung apa yang harus diceritakan kepada kedua orang tua Imelda. Suasana terasa semakin mencekam dan menghimpit dada, karena pikiran yang tak menentu dari tiap orang di mobil itu serasa memenuhi ruangan dalam mobil.

Who Are You?

01.12 WIB
Drtttt….drttt….
1 message received
Kubuka paksa mataku yang sudah sangat ingin mengatup. Kugerayangi kasur tempatku merebahkan tubuh yang seharian penuh belum juga mendapatkan haknya untuk istirahat, mencari HP-ku.
“Mmmmhhh…. Siapa sich malem – malem gangguin orang?” Aku mengumpat sendiri. Kutatap layer HP-ku.
One message received.
Kuaktifkan tombol HP pemberian ayah ibuku saat aku berulang tahun di usia 17 tahun beberapa waktu yang lalu. Mataku tiba – tiba terbuka.
“Dia lagi…” gumamku. Kulihat si pengirim SMS tengah malam itu, tertera di layar HPku, Who R U?
Sudah hampir dua minggu aku terus dikirimi pesan–pesan singkat yang bikin aku penasaran. Setiap malam, dia mengirimkan puisi–puisi untukku. Awalnya kupikir paling hanya orang iseng dan nggak akan bertahan lama. Empat hari yang lalu aku bales smsnya dengan nada menyelidik, ‘Maf, sbnrny km tuh sp? Ap km gak slh krm sms?’. Tapi tidak ada balasan darinya. Tiap malam dia masih saja mengirim puisi–puisi itu.
Kubuka SMS itu, sebuah puisi lagi.
Snyum yg trukir dr bibirmu adl kt mesra…
Tntng rinduku pdmu yg trtnggl dlm mimpiQ…
Di bias senymmu yg mnwn, ad rs
Qsmpn…yg mekar seelok mwar…
Senymmu…
Spt mthr yg br trbt…
Bak plngi di bias ujung lngit…
Mlht senymmu…
Hdp mkn indh mknany…
Krn cnt brgma dr sdt jw…
Snymmu…
Bhs cnt yg indah…
Aku hanya tersenyum membaca SMS itu. Aku bergumam sendiri.
“Kalo dia nggak salah kirim SMS ini, mungkinkah….” Aku tak berani melanjutkan kata–kata. Rasa kantukku menyerang lagi. Aku benar–benar lelah. Seharian aku duduk mendengarkan pelajaran dari para pahlawan tanpa tanda jasa. Sepulangnya, aku harus menemani adikku yang masih berumur tiga tahun karena Ibu dan Bapak sedang menghadiri undangan pesta perrnikahan teman Bapak. Beberapa detik kemudian aku kembali ke dreamland, pulau mimpi.
***
“Mey, gimana?” Anin, sahabat sekaligus teman sebangkuku, memasang mimik penuh pertanyaan, dia penasaran.
“Gimana apaan?” Aku pura – pura tidak mengerti arah pembicaraannya. Kuambil buku paket Bahasa Inggris, sebuah buku tulis dan pulpen di atas meja.
“Dia…. Secret admirer-mu itu. Dia udah ngaku belum jati dirinya yang sebenarnya sama kamu? Terus, semalem kamu dapet puisi apa lagi?” Anin begitu bersemangat dengan kasusku yang satu ini. Mungkin karena dia sedikit berjiwa detektif, makanya dia mudah penasaran. Waktu pertama kali aku menceritakan kasusku ini, dia malah mengajukan diri untuk menyelidiki siapa sebenernya si pengirim SMS itu. Tapi aku tolak dengan alasan kalau SMS–SMS itu paling hanya akan bertahan selama dua–tiga hari. Saat itu dia tampak kecewa. Kecewa karena tidak bisa menjalankan aksinya bak Detektif Conan.
Kulirik dia sebentar. “Belum. Tadi malem dia ngasih puisi lagi. Baca aja!” Aku menyerahkan HPku pada Anin. Anin tampak serius dan menghayati isi puisi itu.
“Gila!! Bagus banget. Kayaknya ni orang suka sama kamu. Tapi, kemungkinan dia pemalu. Makanya, dia hanya berani menuliskan perasaannya lewat puisi–puisi itu…..” Anin kembali bergaya bak detektif. Aku hanya mendengarkan sambil membaca bacaaan yang ada di dalam buku paket Bahasa Inggris. Sesekali aku hanya menimpali dengan ucapan ‘Hmmm….’.
***
“Sebenernya, aku berharap sesuatu dari SMS–SMS itu.” Aku membuka pembicaraan. Aku dan Anin berada dalam angkot yang akan membawa kami pulang ke rumah.
“Maksudnya?” Anin bingung. Aku tersenyum melihatnya.
“Iya… Andai aja si pengirim puisi itu adalah…” Aku tidak melanjutkan kata–kataku. Entah kenapa aku merasa malu, takut. Takut kalau ada yang dengar dia menyebutkan nama itu.
“Adit maksudmu?” Anin blak–blakan menyebut nama yang sedari tadi aku tahan. Aku melotot ke arahnya. Aku kurang setuju aku membicarakannya di depan umum.
Sepertinya Anin tahu bahasa mataku. Buru–buru dia minta maaf padaku. “Ooppsss…. Maaf.” Anin nyengir kuda. Sebelum Anin kembali menjadi Detektif Conan, aku meletakkan jari telujukku di depan mulutku dan berdesis kecil. Anin pun diam.
Angkot terus melaju di jalan raya, membawa kami menuju rumah yang menanti kami. Ibu pasti sudah menungguku sambil menggendong Zahrana, adikku. Makanan lezat sudah memanggil–manggil perutku yang lapar. Sepanjang perjalanan kami hanya diam.
***
Tuuuuttt….. tuuuutt…..
“Hallo Nin…” Aku duduk di kasur sambil memegang HP. Aku menelepon Anin. Suara dari seberang kelihatannya masih malas–malasan menjawab teleponku.
“Mmm… ada apa Mey?”
“Aku cuma mau memberimu kesempatan.”
“Kesempatan apa?”
“Untuk jadi Detektif Conan.”
“Maksudnya??”
“Aku penasaran sama pengirim SMS itu. Kamu bisa kan cari tahu siapa dia???”
“Bereeeesss!!!!” Anin tiba – tiba sangat bersemangat. “Mey, sebenernya aku udah memulai misiku ini sehari setelah kamu nunjukkin SMS itu ke aku. Hehehe…. Tapi, waktu itu kamu melarangku. Jadi ya… terpaksa aku nggak ngasih tahu dulu. Rencananya aku mau kasih tahu kalau aku sudah tahu siapa ‘pelaku’nya.”
“Dasar!!!” Aku agak kesal tapi juga seneng.
“Terus hasilnya gimana??” Aku akhirnya penasaran juga. Anin memang berbakat jadi detektif. Beberapa bulan yang lalu, kasus pencurian dompet Siska, temen sekelas kami, juga berhasil diungkap olehnya.
“Mmmm…. Sekarang aku mencurigai tiga orang.”
“Siapa?” Aku tambah penasaran.
“Rangga, Doni, dan…..” Anin menggantungkan kata–katanya.
“Dan????”
“Adit.”
“Hhhhaaaaaahhh???!!!!!!! Koq dia juga?” Aku kaget sekaligus senang. Mungkinkah Adit yang selama ini mengirimkan puisi–puisi itu?”
“Iya. Penjelasannya nanti aku jelaskan di sekolah. Aku mau Shubuhan dulu nih… udah hampir jam setengah enam. Bye…” Klik.
Aku sungguh penasaran dengan analisis yang akan dia sampaikan.
***
Sudah lima hari berlalu sejak Anin menjelaskan analisisnya kepadaku. Dari ketiga ‘calon’ yang diajukan Anin, Rangga tergeser dari ‘finalis’ itu. Jadi, tinggal Adit dan Doni. Aku semakin deg–degan. Apa lagi Anin bilang belum menemukan petunjuk lagi tentang si Pengirim SMS itu.
Aku benar–benar penasaran dibuatnya. Sebelum pulang sekolah, Anin berkata padaku bahwa lusa akan mendapatkan hasilnya. Aku disuruhnya pergi ke café 1001 untuk mendapatkan jawabannya. Pukul tujuh malam aku harus sudah ada di café itu. Kalau tidak, dia akan merahasiakannya selamanya. Aku bener–bener penasaran dibuatnya.
***
07.02 WIB
Aku melangkahkan kakiku ke dalam café itu. Café 1001. Sudah lama aku tidak masuk ke café itu walau hanya sekedar minum jus apel kesukaanku. Aku mencari–cari sosok Anin. Tak juga aku lihat.
Drrttt…. Ddrrrrt…
1 message received
Kubuka sms itu. Dari Anin.
Mja no 25. Aq kebelet. Tgg aq sbntar.
Aku menggerutu sendiri. Dalam kondisi kayak gini masih sempet – sempetnya dia kebelet. Aku melangkahkan kakiku ke meja itu. Wait!!! Ada yang aneh di meja itu. Taplak mejanya beda dengan yang lain. Ada sekuntuk bunga mawar dimeja itu, juga selembar kertas. Kubuka SMS dari Anin lagi. Kuyakinkan kalau itu meja yang Anin maksud.
Walaupun masih merasa janggal, aku pun akhirnya duduk di meja itu. Seorang pelayan tiba–tiba mendekatiku dan memberikan segelas jus Apel.
“Mbak, saya kan belum pesan.” Pelayan itu hanya tersenyum lalu pergi meninggalkanku yang masih bingung.
Lima menit aku menunggu Anin, dia belum juga kelihatan. Sementara musik café itu terus menyanyikan lagu–lagu yang entah kenapa lain dari biasanya. Tiba–tiba aku dikejutkan oleh sebuah lagu. Dia merasa sangat mengenal lirik lagu itu.
Di bias senyummu yang menawan, ada rasa
Kusimpan…yang mekar seelok mawar…
Senyummu…
Seperti matahari yang baru terbit…
Bak pelangi di bias ujung langit…
Melihat senyummu…
Hidup makin indah maknanya…
Karena cinta bergema dari sudut jiwa…
Senyummu…
Bahasa cinta yang indah…
Itu kan syair puisi yang aku terima. Aku mencoba melihat siapa penyanyinya. Aku tidak berhasil melihatnya. Cahaya lampu dibuat sedikit gelap.
Tiba – tiba……
“Nisrina Meita Ayu…. Maukah kau memberi senyummu setiap hari untukku??” Aku kaget. Tanganku dingin. Aku sangat mengenal suara itu. Ya, suara orang yang aku sukai. Suara Adit.
Perlahan lampu di depan sana menjadi terang. Akhirnya aku dapat melihat siapa penyanyi itu. Dia …. Dia memang Adit. Adit??? Benarkah?? Apa aku tidak lagi bermimpi?? Aku memukul pipiku sendiri.
“Kamu nggak lagi mimpi koq Mey….” Anin tiba–tiba ada di sampingku.
“Anin….” Kulihat senyum Anin mengembang di bibirnya.
“Kamu pengen tahu jawabannya kan?? Dia jawabannya.” Anin menunjuk ke depan, menunjuk Adit.
Aku baru sadar kalau semua mata tertuju padaku. Aku kaget, bingung, seneng. Aduuh…. Aku harus gimana???
Adit mengulangi pertanyaannya sekali lagi. “Nisrina Meita Ayu…. Maukah kau memberi senyummu setiap hari untukku??” Kali ini dia berjalan mendekatiku.
Tanganku semakin dingin. Aku berusaha mengatur nafasku. Kukumpulkan segala keberanianku. Tepat beberapa senti di depanku, Adit berhenti. Dia memberiku senyuman.
Aku menatap Anin lalu bergantian menatap Adit. “Iya…” Hhhh….leganya. Aku tersenyum lagi. Aku mengulang kata–kataku. “Iya, aku mau. Aku mau.”
Adit tersenyum, aku juga tersenyum. Semua pengunjung bertepuk tangan, bersorak pada kami. Tapi, aku masih penasaran. Lalu Adit berbisik padaku. “Besok aku jelaskan. Sekarang, makan malamlah bersamaku.” Adit memperlakukanku bagai putri. Aku senang banget.
Thanks Anin…

Tentang Kesabaran,Tentang Kamu


Ada hari-hari dimana kerinduan untuk pulang terasa menyayat

Pulang ke seseorang yang akan selalu sigap menerima

Menyunggingkan sebaris senyuman sebagai sambutan
Sayatan pun tak lagi terasa menyakitkan, ketika kamu menegur perlahan

Membawa hadiah, cerita tentang kesabaran

Cerita tentang suatu hari, saat kesabaran datang membujuk agar ia diajak ikut dalam jalinan hati

Tersenyum kamu berkata, betapa riangnya dia ketika kamu langsung setuju

Menggandeng kesabaran, jadi pendamping hatimu
Satu yang saya sembunyikan dari kamu

Bahwa kesabaran diam-diam datang pada saya, menceritakan berjuta kisah tentangmu

Dan saya ingin mendampingi kesabaran

Karena kesabaran mendampingimu

Desember Tanpa Ending


Rintik-rintik hujan mengiringi ketukan-ketukan yang diciptakan oleh penaku. Aku duduk termenung menatap ke arah radio butut yang dari tadi mengeluarkan suara samar-samar. Kemudian melirik ke arah cerpenku yang belum juga selesai. Memandangi kata-kata berbaris bagaikan semut itu membuatku mengantuk. Oleh karena itu, kuputuskan untuk beranjak dari kursiku untuk membuyarkan semua rasa kantuk itu. Kuputar pinggangku ke kanan dan ke kiri, menepuk bokongku yang terasa panas karena sudah berjam-jam duduk lalu berjalan ke dapur.
Aku membuat secangkir kopi dan sembari aku mengaduk bubuk kopi dan gula dalam air panas, kulayangkan pandanganku ke kamar kosong dan gelap yang beberapa bagiannya dikuasai oleh sarang laba-laba. Tidak ada seorang pun menghuni kamar ini. Hanyalah ayah yang sesekali masuk ke dalam. Sebelum aku kembali ke mejaku sambil membawa cangkir berisi kopi, mataku sempat mengerling ke arah televisi, VCD, dan loudspeaker-barang hasil jerih payah ibu. Sesampainya di depan meja, aku menengadah sebentar ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul sepuluh malam dan kemudian duduk. Kutelusuri lagi cerpenku mulai dari awal sampai kata terakhir yang kutulis, bingung akan meneruskan ceritanya. Inspirasi berhenti karena rasa kantuk masih terus menyerangku meski telah meminum kopi. Beberapa kali aku menguap. Belum sempat aku meletakkan kepala di atas kedua lenganku yang saling bertopang di atas meja, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah sehingga rasa kantuk pun kembali buyar.
Aku beranjak dari tempat duduk dan membuka pintu.
“Bapaknya ada, Dek?” tanya pria yang menurutku umurnya sudah sekitar 30-an itu sambil menyunggingkan senyuman.
“Bapak belum pulang. Mau ngapain ya, Pak?” aku berbalik tanya.
“Mau mengambil sepatu. Katanya kemarin kan datangnya malem-malem aja,” ucapnya sesuai dengan dugaanku.
“Yang mana?” tanyaku lagi sambil mepersilahkan masuk. Kemudian dia mengambil salah satu sepatu dari atas mesin jahit di sampingku.
“Rupanya belom siap, Dek!” keluhnya, “Nanti tolong dikasih tahu ya sama Bapak.”
Aku hanya mengangguk.
“Adek nggak malem taon baru-an?” dia bertanya kembali.
Aku hanya menggeleng.
“Masa sih?!” tanyanya seperti menggoda. “Tapi bapaknya malam taon baru-an ya…,” ledeknya sambil tersenyum genit.
Apa sih orang ini! Kataku dalam hati. Kemudian hanya bisa menyunggingkan senyuman yang sedikit pahit.
“Kalau begitu jangan lupa bilang ya kalau orang punya sepatu ini tadi datang,” ucapnya mengakhiri sembari keluar dari rumah. Aku pun turut mengikutinya. Dia men-starter motornya yang diparkirkan di depan rumah sambil menganggukkan kepala tanda permisi. Seraya aku melemparkan senyuman pada orang tersebut, pandanganku menerawang ke segala sisi jalan yang kosong-melompong, langit malam yang begitu gelap saat itu.
Kuletakkan tanganku pada gagang pintu, kudorong pintu itu dan kemudian menguncinya dengan menarik engsel pintu ke kiri. Setelah itu kembali duduk di depan mejaku. Aku mendongak ke kamar tempat dua adikku tertidur lelap. Karena mejaku berada tepat di samping kiri pintu kamar sehingga memudahkanku untuk memperhatikan mereka.
Mereka pasti lapar, pikirku. Tapi apa boleh buat, ayah tak kunjung pulang sampai jarum jam telah menunjuk ke angka sepuluh lewat. Kutatap adik laki-lakiku lebih dalam. Dia tertidur begitu lelap seakan semua dosa telah lepas dari dirinya. Setiap hembusan napas yang dia keluarkan terikut juga dosanya keluar dari raga. Seandainya dia selalu seperti ini, anganku. Seharian ini dia di rumah saja tidak seperti biasanya. Aku selalu bertanya mengapa dia tidak bisa berubah. Tetapi seraya pertanyaan itu sering muncul di benakku, aku sadar bahwa tidak mudah untuk hidup sebagai dirinya. Aku tahu bahwa dia berada di bawah tekanan. Jika dia tidak melakukannya, dia akan diancam oleh teman-temannya, sebaliknya jika dia melakukannya dia selalu disudutkan di rumah. Sementara harus diakui ayah pun tak memberi contoh yang baik. Memikirkan hal ini, aku pun teringat akan kata-kata orang tadi, “Tapi bapaknya malam taon baru-an ya…”
Sewaktu mendengar kalimat itu terucap dari bibir hitam itu, darah dalam jantungku seakan memuncrat ke seluruh organ tubuh lainnya, air mata juga ingin mengalir melintasi kulit berminyak ini.
Sebelum aku terhanyut dalam lautan ini, tiba-tiba ponselku berdering membuat aku kembali terapung ke atas permukaan. Kulihat nomor yang tidak kukenal di layar, kemudian dengan perlahan jempolku menekan tombol untuk menjawab panggilan masuk tersebut.
“Halo…,” jawabku.
“Di mana Bapak??” tanya seorang pria dari sana dengan logat Bataknya.
“Eee… Bapak belum pulang kerja.”
“Kok selalu dia nggak di rumah! Apa mau cari mati dia?!” tiba-tiba dia berkata dengan nada kasar dan kemudian melanjutkan kalimatnya, “Bilang sama bapak, kalau dia mau cara baik-baik jumpai ke tempatku!”. Ditutupnya telepon namun tidak kutanya siapa dia karena aku sudah tahu.
Setelah itu posel itu kuletakkan kembali di atas meja. Sebelumnya aku menyimpan nomor HP yang masuk tadi agar suatu saat aku tahu itu nomor siapa. Tidak mau aku terlalu mencerna kalimat-kalimat tajam tadi. Dia tak sepantasnya berkata seperti itu. Ingin sekali tadi aku mengatakan, “Tunggu saja Mama kembali dari kuburnya untuk membayar utang itu!”
Mereka semua tidak peduli dengan semua kesulitan yang kami hadapi. Apalagi sejak Ibu meninggal, mereka menjadi seperti pembantai yang haus darah. Senyuman mereka seketika hilang dari bibirnya. Wajah dingin seperi es beku tak teretakkan menguasai. Ah! Pusing sekali mengingat-ingat ekspresi wajah mereka, pikirku.
Aku mencoba mengacuhkan hal-hal itu. Kuambil buku pelajaranku dan kucoba-coba mengerjakan soal-soal yang tercetak di atas lembaran-lembaran putih itu. Seraya mengerjakan soal-soal yang masih sanggup otakku tafsirkan, senyumku terbit mengingat ujian semester beberapa minggu lalu dapat kuikuti walau administrasi di sekolah belum terlunaskan. Namun meski demikian, tetap saja administrasi sekolah yang belum terselesaikan itu terasa bagaikan kuk berat yang membuat pundak ini makin membungkuk. Terkadang terpikirkan untuk menjual barang-barang hasil jerih payah Ibu itu. Tetapi kalau itu dilakukan, rasa bersalah mungkin akan menutupi hati selamanya.
“Apapun yang terjadi, barang-barang yang telah jadi milik sendiri berusahalah mempertahankannya. Jangan pernah menjual apa yang telah dimiliki, itu bukan penyelesaian,” kalimat itu terngiang di telingaku. Sementara kalimat itu masih menetap, lantunan melodi dari radio yang tadinya mayor disikut oleh nada-nada minor. Aku berhenti mengerjakan soal-soal tadi. Otakku sudah tidak sanggup mengelola angka-angka itu. Oleh karena itu, kualihkan perhatianku pada cerpen yang belum kuselesaikan. Sebenarnya aku tidak tahu akan melanjutkan cerita ini karena cerpen ini menyangkut tentang kelanjutan kehidupanku. Ada konflik yang saling berseteru satu sama lain. Aku bingung apakah akan berakhir bahagia ataukah semuanya harus terperosok ke dalam jurang kekelaman.
Tanpa sadar pertanyaan yang terus menerawang di pikiran ini tiba-tiba pecah dan hilang begitu saja ketika muncul suara yang begitu menggelegar sampai-sampai dinding begitu juga aku bergetar. Itu adalah suara khas motor tua ayah. Kugerakkan bola mataku dan juga kepalaku ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul sebelas. Tubuhku berdiri sigap dan langsung beranjak dari tempatku menuju pintu. Tangan ini seperti dipenuhi tenaga yang meluap-luap, hati juga begitu senang akhirnya ayah pulang.
“Belum tidur kau, Boru?” tanya Ayah lembut dari atas motornya dengan sebuah kantongan plastik besar berwarna hitam di pegangannya. Aku juga melihat senyuman-senyuman hangat menyapaku. Mereka adalah teman-teman Ayah dan Ibu.
“Halo! Kami tadi sengaja kemari karena Bapak datang ke rumah. Kalian sudah makan?” kakek tua yang masih gagah itu menyapa.
“Belum…,” jawabku tersenyum sembari menghitung ada enam orang yang ternyata datang.
Rumah yang begitu sepi tadinya kini telah ramai. Adik-adikku yang tadinya tertidur pulas sekarang begitu asyik mengobrol dengan teman-temannya. Betapa bahagianya diri ini. Namun tak terasa satu jam berlalu, mereka pamitan pulang. Kami semua pun keluar dari rumah mengantar tamu kami sampai ke teras. Senyuman masih melekat di bibir mereka seraya mereka menghilang.
Ayah berdiri di sebelahku sekarang. Tercium olehku badannya mengeluarkan aroma nira yang difermentasikan atau yang dikenal dengan tuak. Tapi ya sudahlah, pikirku. Kemudian melayangkan pandangan ke langit yang bertabur percikan-percikan kembang api. Langit malam yang begitu gelap akhirnya dipenuhi warna. Semua kekhawatiran yang tadinya sempat menguasai pikiranku dipecahkan oleh senyuman-senyuman hangat itu dan pastinya Ayah yang telah pulang. Senyumku pun ikut mengembang seraya kalimat ini melintas di benakku: “Selama kita memilki kenangan, ‘kemarin’ itu ada. Selama kita memiliki harapan, ‘besok’ menunggu kita.” Ya, besok itu telah di genggamanku! Tidak usah pikirkan ending cerita ini seperti apa. Yang lalu memang masih tetap berada di hati, namun ‘besok’ itu memacuku untuk tetap bertahan agar aku dan semuanya tidak terperosok ke dalam jurang kekelaman.