Jumat, Agustus 22, 2008

Antara Cinta dan Sahabat

“Risaaa…. Kecilkan suaranya!!!” teriak Kak Dyo dari dalam kamarnya.
“Iya, iya,” jawab Risa dengan sedikit ketus.
Risa mengecilkan volume suara Astrid yang terdengar seperti erangan lagu yang menyakitkan.
Yup!!! Risa memang sedang sedih yang bercampur kesal dan mengerang di dalam hatinya.
“Teganya!!!” teriak Risa dalam hati dengan air mata yang tak dapat dibendungnya lagi.
Bayangkan saja, Ocha, Sahabat karibnya yang sudah lama begitu dekat, terlihat sedang asyik berduaan dengan Andi di depan sekolah tadi siang. Risa memang sangat menyukai Andi sejak awal mereka bertemu. Tinggi, tegap, tampan, dan pintar pula. Siapapun akan tertarik untuk lebih dekat dengannya. Termasuk Risa yang sudah lama menyimpan rapat perasaannya.
“Apakah selama ini Ocha tidak memperhatikan wajahku yang selalu merona jika melihat Andi lewat dihadapanku?? Atau Ocha memang tak peduli padaku??” Pertanyaan demi pertanyaan muncul di dalam otak Risa.
Awalnnya ia memang tidak pernah menduga semua ini, karena Ocha telah memiliki kekasih yang setahu Risa sebagai The only one love bagi sahabatnya itu. Tapi, begitu ia melihat kejadian yang terjadi sewaktu Risa pulang sekolah tadi. Oh..Entah kemana kesetiaan yang selama ini diagungkan oleh Ocha tarhadap kekasihnya.
Risa pun terlarut dengan kesedihannya itu hingga ia tertidur dan lupa mematikan tape recorder yang dari tadi mengalun lembut menemani kesendiriannya.

“Ris..Risa!! Kamu dari mana aja sich?? Aku cariin kamu kemana-mana,” tanya Ocha pada sahabatnya itu di depan kelas.
“Emang gue biasanya kemana kalo pagi-pagi begini?? Ya ke kantinlah buat sarapan!!!” jawab Risa dengan ketus dan membuat kaget sahabatnya itu.
“Kamu kenapa? Kok kayaknya aneh banget??” Ocha keheranan.
Tanpa basa-basi keluarlah kata-kata yang penuh makna dari mulut Risa kapada sahabatnya itu.
“Cinta kadang menyakitkan bila tanpa kesetiaan dan cinta kadang sangat melelahkan bila tanpa kesetiaan.” Dengan wajah cueknya Risa berlalu dari hadapan Ocha yang masih terdiam kebingungan akan ucapan sahabatnya tadi.
Dan selama jam pelajaran hingga waktunya pulang, mereka tidak saling bicara. Risa dengan seribu diamnya yang menyimpan sesak di dada dan Ocha yang masih tak mengerti, memilih diam tanpa komentar apapun.

Sambil menunggu taksi yang datang, Risa duduk di taman depan sekolahnya. Namun, pikirannya terus melayang dan tak berhenti memikirkan Andi. Sebenarnya Andi dan Risa pernah dekat. Mereka sering saling sapa hingga telpon-telponan hampir tiap malam. Tapi, entah mengapa atau mungkin Andi maupun Risa sama-sama memiliki kesibukan yang sangat padat. Hingga mereka lupa untuk saling bertanya kabar. Begitu classmeeting tiba, barulah Risa mulai mencari-cari kepingan hatinya itu lagi. Dan selanjutnya, tiba-tiba Ia melihat Ocha dan Andi saling canda di depan sekolah dengan akrabnya. Jelas saja Risa naik pitam. Setahu Risa, Sahabatnya itu tidak pernah mengenal Andi dengan akrab. Tapi, mengapa???
“Aku memang cemburu!!! Terus kenapa??” Bisik dalam hati Risa.
Risa tertunduk, menangis di atas kasurnya dan kecewa kepada sahabat karibnya. Tiba-tiba, Ia menemukan sebuah buku merah yang terdapat di bawah bantalnya. Ternyata, buku itu tertulis nama Kak Dyo. Dan judulnya cukup menarik Risa yang sedang gundah gulana. “Seberapa Pantas Dia Untukku??” Dengan judul itu dapat menggelitik Risa untuk membukanya. Selembar demi selembar terlewati. Wajahnya yang tadi pucat dan lesu, kini mulai memudar. Ternyata, isi buku menjelaskan tentang kekuatan hati untuk menahan segala rasa yang sebenarnya hanya membuang waktu.
“Aku memang suka, tapi entah ini cinta?” pikirnya dalam hati.
“Cemburu?? Itu normal kan???” tanyanya lagi dalam hati.
“Ocha sahabatku?? Dari dulu memang begitu kan???” batinnya terus bertanya sekaligus memikirkan nasib cinta dan sahabatnya.
Ditutupnya buku merah itu. Dalam hatinya, Ia tahu bahwa isi buku itu memberinya sebuah pemikiran, kalau perasaannya pada Andi dan rasa marahnya pada sahabatnya, Ocha, hanya membuang waktunya saja. Sesuatu yang belum jelas, malah menjadi hal yang terus dipikirkannya dari tadi.
Aku bukannya mengalah
Aku tidak menyerah
Aku punya rasa, punya cinta
Aku merasa bahagia
Bukannya Aku ingin lupakan semua cerita
Tapi, cukup sudah!!!
Aku tak mau tersesat tanpamu
Sahabatku…
Aku akan biarkan ini mengalir
Hingga noda menghilang dari hatiku
Maafkan Aku, wahai sahabatku..
Yang sudah mengacuhkanmu karena cemburuku.
Dilipatnya secarik puisi yang telah ditulisnya tadi. Dan berharap Ocha, sahabat karibnya akan mengerti apa yang telah terjadi. Dan berjanji dalam hatinya untuk menjelaskan semua kata-katanya yang pernah ditujukannya kepada sehabatnya itu besok dan mulai berjalan lagi tanpa ada rasa yang mencoba mempermainkan kesetiaannya akan sebuah persahabatan yang sangat dijunjungnya itu.
“Maafkankan aku wahai Sahabatku,” kata maaf itu mengalir bersama dengan senyuman yang tenang di wajah Risa.