Jumat, Agustus 22, 2008

November

Dinginnya malam tidak mengurungkan niatku untuk menyusuri jalanan sepi ini. Angin malam yang berhembus seakan-akan melantunkan melodi indah di telingaku, ditambah dengan suara gemerisik dedaunan. Aku menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Ya, menghela napasku seakan-akan jiwa ini keluar dari raga menuju ke suatu tempat yang sangat aku rindukan.
Daun yang berjatuhan dan terseret angin menemani langkahku menapaki jalan ini. Tidak seperti sekarang, dulu biasanya langkahku ini ditemani oleh langkah kaki seseorang yang pernah berjalan denganku di jalan ini. Seseorang yang selalu tersenyum hingga keriput di wajahnya bermunculan sambil menjunjung keranjang di atas kepalanya. Sementara tangan kanannya selalu menggenggam tangan kiriku dan yang kirinya sesekali menahan keranjang yang ada di atas kepalanya.
Lamunanku buyar ketika tiba-tiba ponselku berdering. Kurogoh sakuku dan melihat ada SMS yang ternyata hanya dari customer service provider-ku. Namun sejenak kupandang ponselku hingga membawa anganku kembali ke suatu waktu ketika aku baru membeli ponsel ini. Aku ingat pada waktu itu aku berkeliling kota untuk menjual ponsel bututku hingga malam tiba. Sesampainya di rumah, aku tersenyum pada seseorang yang sering berjalan beriringan di sini menunggu di rumah. Masih kurasakan juga hangat telapak tangannya di ponsel ini.
Anganku pun mulai terbang lebih jauh lagi hingga tiba-tiba terdengar olehku suara ribut dari sebuah rumah yang tepat berada di sampingku. Rumah itu hanya berdindingkan papan di bagian depannya sehingga telingaku mampu menangkap getaran suara itu. Kemudian aku berhenti sejenak, kucoba untuk mendengar lebih seksama, ternyata ada pertengkaran, mungkin antara suami-isteri. Terdengar juga olehku suara tangisan anak-anak. Aku menghela napas lagi, kemudian berbisik pada diri sendiri, “Ternyata mereka lebih parah.”
Langkahku aku lanjutkan menapaki jalan selanjutnya yang sedikit berbatu dan melewati kegelapan yang sepertinya tiada ujung. Wajahku menengadah ke langit itu. Kulihat satu bintang kecil yang berkilauan di tengah-tengah gelapnya langit, kemudian tersenyum. Bintang kecil itu kelihatannya tersenyum riang padaku. Langit yang benar-benar gelap tidak dia pedulikan. Mungkin dia menyadari walau kegelapan biasanya diidentikkan dengan sesuatu yang buruk tetapi sebenarnya langit gelap itu bisa membuatnya tampak berkilauan. Melihat bintang kecil itu, mengingatkanku lagi pada seseorang itu lagi, seorang wanita yang selalu dapat tersenyum lembut dan tertawa lepas layaknya kapas yang terbang terbawa hembusan udara seperti tidak ada beban yang dia bawa, walaupun dia tahu dia akan ditelen oleh kegelapan itu suatu saat. Beberapa waktu dia masih bisa bertahan dalam kegelapan, namun seiring waktu berjalan, kakinya tidak lagi kokoh sama seperti pilar yang rusak oleh karena cuaca semakin buruk. Sekarang jangankan mencoba untuk menerobos kegelapan dengan meraba-raba, satu langkah saja pun tak mampu dia ciptakan. Dia hanya bisa terdiam membisu, tak ada tawa maupun tangis.
Masih kuhafal setiap detail raut wajahnya sewaktu berada di rumah sakit. Kulitnya mulai menipis hingga tulang-tulang dalam tubuhnya menonjol dan matanya sayu tidak menunjukkan ekspresi. Yang kulihat dari matanya hanyalah kekosongan yang sepertinya dia pun menyadari bahwa dia akan merasakan kehampaan itu. Kemudian tampak juga rambutnya mulai menipis sampai-sampai kulit kepalanya kelihatan. Uban merajai rambut di kepalanya dan rambutnya kering.
Waktu itu aku menjenguknya di rumah sakit. Dia memintaku menyisir rambutnya dan menaburi bedak di leher dan punggungnya yang tidak lagi mulus. Ada banyak bintilan kecil di daerah leher dan punggungnya, kata perawat, itu karena dia kurang bersih jadi punggungnya harus dilap dan ditaburi bedak agar bintilan-bintilan kecil itu menyingkir. Sembari aku menyisir rambutnya dan menaburi bedak, dia hanya diam. Jika aku bertanya sesuatu, dia hanya mengangguk atau menjawab dengan suara yang samar-samar. Getaran suaranya yang dulu lantam sekarang hampir tidak mampu ditangkap oleh telingaku.
“Aduh!” tiba-tiba sebuah batu kecil membuatku tersandung dan jatuh. Kulihat lututku sedikit terluka, lalu aku pun duduk di jalan itu. Kutanggalkan ransel dari punggungku dan mengambil plester di salah satu kantongnya. Selagi mengambil plester dan menempelkannya pada lututku, aku kembali menengadah ke langit. Kucari-cari bintang kecil tadi apakah dia masih berada di atas sana, namun tidak kutemukan. Langit semakin gelap tanpa satu bintang pun. Bintang kecil tadi mungkin kesepian di sana sementara tenaganya mulai surut sehingga tidak ada yang membantunya untuk bertahan dan akhirnya tenggelam dalam kegelapan malam.
Setelah selesai menempelkan plester, aku pun mencoba untuk berdiri dengan kekuatanku sendiri. Biasanya wanita itu selalu membantuku berdiri jika aku terjatuh dan tidak lupa membersihkan lukaku sebelumnya, bahkan sampai aku sebesar sekarang ini. Aku tersenyum sendiri mengingat itu. Namun ekspresi wajahku seketika berubah ketika mengingat bintang yang hilang tadi. Seiring waktu berlalu, sama seperti bintang itu, cahaya yang dulu terpancar begitu kuat dari dalam diri wanita itu semakin redup. Ingatanku kembali ke suatu subuh ketika aku melewati jalanan kota yang masih sepi menuju rumah sakit tempat wanita itu dirawat. Sesampainya di sana, aku hanya bisa memandangi dia tidak sadar menggigit-gigiti bibirnya sendiri, terdengar juga suara gemeretak giginya. Ketika dia terbangun, dia seperti tidak mengingat apapun lagi. Aku masih ingat dia bertanya pada kami kalau dia sedang berada di mana. Aku curiga apakah benar dia tidak sadar kalau dia di rumah sakit. Mengapa dia bertanya seperti itu? Aku mengambil persepsi kalau sebenarnya dia seperti itu karena hasratnya ingin keluar dari tempat ini dan bangkit kembali mungkin akan sulit dia gapai.
Jiwaku semakin takut wakut itu, takut kalau-kalau kehampaan itu akan menghampirinya. Rasa takut ini semakin bertambah ketika dia bercerita tentang mimpinya bahwa ada yang mengejar-ngejar dia untuk membunuhnya. Pada saat itu aku berharap kalau itu bukan suatu pertanda buruk, walau sebenarnya batin ini telah dipenuhi rasa takut. Tetapi kucoba untuk mengacuhkannya. Aku pun pulang. Namun masih ada sesuatu yang mengganjal di hati ini, yaitu ekspresi wajahnya ketika melihat aku!
Pada hari itu juga ternyata semua yang kukhawatirkan terjadi. Sering terpikirkan olehku namun aku tak pernah menyangka ini akan terjadi. Pilar yang mulai goyah oleh karena retakan-retakan yang disebabkan cuaca buruk itu akhirnya roboh juga, matanya yang dahulu bersinar akhirnya harus tertutup oleh kegelapan, telapak tangannya yang begitu hangat kini menjadi dingin, suaranya yang lantam sekarang tak lagi terucao dari bibirnya, telinganya yang selalu mendengar rengekanku tidak bisa lagi mendengar apapun, tidak ada perasaan apapun lagi padanya dan semua belenggu telah lepas darinya. Ah! Begitu bahagianya dia, pikirku. Padahal, aku berencana akan kembali menemui dia. Pakaian-pakaiannya yang akan dia kenakan esok hari telah kusiapkan dalam tasku. Namun, ternyata semua tidak berguna lagi ketika ponselku berdering. Ada perasaan begitu bersalah yang berkecamuk dalam dada. Kenapa aku tidak menemaninya tadi? Dan kenapa aku mengucapkan kata itu tadi siang pada temanku?
“Mati!” Ya, kata itu yang tanpa kusadari keluar dari mulut ini ketika temanku bertanya mengapa wanita yang adalah ibuku itu tidak ikut mengantar aku, sementara yang lain bersama ibunya.
Namun, semua telah berakhir! Banyak yang disesali namun tak dapat diperbaiki. Meskipun dapat diperbaiki, mungkin hanya diri sendiri saja yang mengetahui. Aku kembali menghela napas dan memandang jauh ke depan.
“Life must go on!” kataku dalam hati, “But how will life go on if there is not her with us?”
Dari kejauhan telah tampak gubuk deritaku. Orang sering bilang, “Biar jelek milik sendiri”. Tetapi itu tidak berlaku bagi keluargaku. “Yang jelek pun bukan milik sendiri!” Ya, jangka waktu kontrakan rumah akan habis bulan ini. Sementara itu, biaya sekolahku dan adik-adikku pun belum dibayar. Kemudian, utang-utang Ibu juga belum terlunaskan. Sering aku berandai-andai kalau saja Ibu masih hidup pasti tidak akan seperti ini jadinya dan bibir-bibir yang bergunjing setelah kematian Ibu tidak kan menggetarkan daun telingaku, lalu wajah-wajah mereka juga tidak akan menunjukkan ekspresi sinis padaku. Aku tahu bahwa Ibu bukanlah sosok yang sesempurna yang kubayangkan selama ini, tetapi kesempurnaan yang kubayangkan selama ini tetap nyata bagiku.
Aku mengetuk pintu rumah dan segera setelah itu adik perempuanku membukakannya kemudian bertanya denga nada yang agak keras, “Kok lama kali kau pulang?”
“Tadi masih banyak yang harus dikerjakan,” jawabku.
“Tapi kan kau bisa kasih tahu…!” bentaknya.
“Maaf!” balasku.
Setelah itu tidak kugubris lagi perkataannya. Aku masuk ke dalam kamar kemudian tidur di atas tikar yang mungkin tadi digelar oleh adikku itu. Kuselimuti seluruh tubuhku dengan sarung yang beberapa bagiannya berlubang karena dulu pernah gosong terkena setrika. Kemudian aku pun menutup mata dan tidak menghiraukan ocehan-ocehannya. Sebelum pikiranku terbang, sempat juga pikiran ini singgah ke Ayah yang belum pulang dari tempat kerjanya, lalu pikiran ini juga singgah agak lama ke adik laki-lakiku yang entah di mana sekarang. Masih kuingat kata-katanya tadi siang, “Jangan cari aku lagi!”
Dia bolos sekolah selama ini. Aku heran, kok dia tega sekali berbuat itu berkali-kali. Apa yang telah meracuni pikirannya? Tanyaku dalam hati. Tapi, yang paling aku khawatirkan adalah Ayah. Dia pasti sedih sekali anak laki-lakinya tidak bisa membantu dia dan diajak untuk mengobrol.
Sejuta kecemasan memenuhi pikiranku sehingga kucoba untuk membuangnya walau hanya sementara waktu. Lalu untuk terakhir kalinya, kuhela napasku kemudian menerbangkan anganku sembari mengucapkan dalam hati kata-kata yang meringankan gundah dalam batin dan mungkin bahkan menenangkan cacing-cacing yang telah berunjuk rasa di dalam perut ini: “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.”

Tidak ada komentar: