Jumat, Agustus 22, 2008

Aku Bukan Wonderwoman


Semua orang selalu ingin terlihat hebat di depan orang lain. Semua orang selalu ingin menjadi yang terbaik buat orang lain. Aku juga demikian. Aku juga ingin selalu tampak hebat di depan orang-orang yang aku sayangi. Tapi, tampak hebat di depan orang lain itu ternyata tidak menyenangkan. Tampak hebat di depan orang lain itu justru melelahkan.
Akulah salah satu dari orang-orang yang tampak hebat di depan orang lain dan merasa lelah. Hal ini karena aku bukanlah cewek hebat yang benar-benar hebat. Aku selalu menjadi superwoman di depan mereka dengan segala sudut kehidupanku yang sempurna. Sebenarnya ini bukanlah kehendakku. Ini terjadi begitu saja, seperti air. Mengalir menuju ke hilir begitu saja. Tidak ada satu pun yang tahu siapa aku sebenarnya. Hal ini mungkin karena aku bukanlah tipe cewek yang bisa berbagi tentang kisah hidupku kepada siapapun yang lalu lalang di depanku dan menawarkan bantuan yang sebenarnya sangat aku butuhkan. Padahal aku punya banyak orang yang aku sayangi di sekitarku. Atau mungkin karena aku ini cewek sombong yang sok hebat dan merasa bisa menghandle semua sisi kehidupanku. Entahlah!! akupun tidak mengerti tentang diriku sendiri.
Karena itulah mereka menganggap aku cewek hebat yang tidak pernah menghadapi masalah dalam hidupku. Aku ini superwoman. Aku punya keluarga yang perfect, nilai yang bagus, teman yang banyak, hidup berkecukupan, dan sebagainya. Apa lagi yang harus aku pikirkan coba. Semuanya sudah komplit.
Akulah Nana. Nana yang hebat, Nana yang kuat, Nana yang bijaksana, Nana yang punya pemikiran yang logis, dan blablablabla.
Ini semua benar-benar melelahkan. Semua prasangka orang-orang itu benar-benar bikin aku capek. Setiap manusia kan juga punya kelebihan dan kekurangan. Aku manusia dan jelas aku punya kekurangan itu. Tapi aku tidak pernah bisa membaginya dengan orang lain. Sekarang penyebabnya bukan hanya karena aku bukan tipe cewek yang bisa sharing ini itu kepada semua orang tapi lebih kepada aku ini sudah dicap sebagai cewek kuat dan tangguh. Aku cewek hebat yang gak pernah ada masalah atau cewek yang bisa menyelesaikan masalahku dengan hanya sekedip mata dan ‘ting!!!’, masalahku langsung selesai. Setiap aku berusaha bercerita pasti diakhiri dengan keheranan mereka kenapa aku gak bisa menyelesaikan masalahku.
***
“Na, gue mau curhat,” Tata masuk ke kamarku sambil merengek-rengek. Aku yang semula sedang membaca majalah menarik nafas, mengubah posisi dudukku menghadapnya, dan siap mendengarkan.“Natan lagi??” tanyaku. Aku sebenarnya sudah tau apa yang ingin dicurhatkan sahabatku yang satu ini. Pasti soal Natan, cowok yang sudah jadi pacarnya dalam satu tahun ini.Tata menganggukkan kepalanya. Matanya tampak berkaca-kaca. Aku kembali menarik nafasku.
“Kenapa lagi dia??” tanyaku mulai bosan. Gimana gak bosan, setiap kali yang dicurhatin sama anak itu selalu saja soal Natan. Selalu. Seolah tidak ada manusia lain selain Natan dalam hidupnya.“Gue berantem lagi sama dia.” Selalu itu jawabannya. Aku diam. Sudah terlalu banyak pendapat yang aku utarakan ke dia. Tapi, semua pendapat itu tampaknya masuk telinga kiri keluar telinga kanan.“Masa gue ditahan-tahan mulu sama dia. Padahal tadi malam itu gue cuma pergi jalan-jalan sama sepupu gue. Trus ketahuan sama dia. Dia marah-marah sama gue.”“Lu udah jelasin belum sama dia kalo lu tu cuma pergi sama sepupu lu?”“Udah. Gue udah sms dia. Awalnya gue nelpon dia buat minta izin, tapi gak diangkat. Makanya gue sms aja. Tapi gak dibales-bales, jadi gue mutusin buat pergi aja,” jelas Tata.Aku menggeleng-gelengkan kepala. Selama ini aku benar-benar tidak mengerti kenapa sih dia betah pacaran sama Natan. Sudah jelas anaknya posesif gila. Tapi tetap aja dipertahanin.
“Kalo lu udah gak kuat lagi kenapa lu gak minta putus aja sama dia,” usulku. Usul ini selalu ada dalam urutan pertama dalam list ‘advice untuk Tata’ku.Tata menggelengkan kepalanya. “Gue gak mungkin mutusin dia, Na. Guekan sudah sering bilang kaya gitu ke lu.” Tata mengelap air matanya. Aku hanya diam sambil mengelus dada. Inikah yang namanya cinta mati sampai rela mati demi cinta???!!!!Actually, aku gak begitu kenal sama Natan. Cuma sekedar tau aja. Anaknya emang ramah, gak sombong, murah senyum, dan enak diajak ngomong. Tapi, sifat posesifnya yang gak ketulungan itu yang benar-benar bikin aku jengah. Tata udah kaya boneka aja sama dia. Jangankan sama orang lain, sama kami yang jelas-jelas teman dekatnya pun sulit bagi Natan untuk memberi izin Tata buat pergi jalan-jalan. Gila aja, orang tuanya Tata sendiri aja gak pernah ngelarang Tata sampe segitunya.
“Cinta……,” jawabku lesu. Aku benar-benar heran, kenapa cinta justru bikin orang gila.Tata menganggukkan kepalanya.
“Gue sayang sama dia, Na. Gue gak mungkin mutusin dia.”“Yah… kalo gitu lu terima aja diposesifin sama dia,” lanjutku. Aku benar-benar sudah bosan.“Na, kasih gue advice dong. Jangan ngomong gitu. Gue kan lagi butuh nasihat lu.” Tata menggoyang-goyangkan bahuku.
“Ta, gue itu udah banyak ngasih advice sama lu, tapi tu advice selalu masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Gak pernah ada yang nyangkut di kepala lu.” Tata diam. Aku memandangi wajah Tata. Aku tau kalo sebenarnya dia juga sudah mulai lelah dengan masalahnya yang satu ini. Tapi kenapa sih dia gak pernah mengambil sikap.
“Gue bukannya gak mau bantuin lu, Ta. Tapi masalah lu ini dari jaman dulu gak pernah selesai. Gue suruh lu ngomong sama dia gak pernah lu lakuin. Gue suruh putus lu bilang lu sayang sama dia. Gue yang dibikin bingung sama sikap lu.”“Gue juga gak tau ada apa sama gue. Gue takut dia marah sama gue kalo gue ajak dia ngomong.”“Ya Tuhan, Ta. Natan itu bukan siapa-siapa lu. Dia cuma baru pacar lu, bukan laki lu. Kenapa sih harus segitu takutnya sama dia. Apa lu mau gue yang ngomong sama dia??” Aku udah mulai naik darah. Tata benar-benar selalu gak bisa ngapa-ngapain kalo sama Natan. Hanya bisa nurut kaya robot. Ta, kita emang gak bisa mencegah perasaan cinta muncul, tapi kita bisa memanage perasaan kita untuk tidak begitu jauh terperangkap sama perasaan cinta kita.”Tata memandangiku. “Gimana caranya???” tanyanya.“Tergantung kemauan lu sendiri. Itu perasaan lu, Cuma lu yang tau mesti gimana.” Tata menarik nafasnya berat. “Ato gini aja deh, Ta. Lu ngomong sama dia. Ngomong baek-baek dan gue jamin dia pasti gak bakalan marah.”“Mungkin emang kaya gitu ya. Harus ngomong,” gumam Tata.Aku tersenyum. “Iya, emang harus kaya gitu. Semua hal emang harus selalu diomingin. Kalo gak diomongin gimana orang bisa tau perasaan kita.” Dalam hati aku hanya bisa mengutuk. Betapa mudahnya kalimat itu keluar dari mulutku.Tata memelukku. “Thanks ya, Na. Gue bakalan usaha buat ngomong sama Natan. Moga-moga aja dia gak marah sama gue.”Aku menepuk-nepuk bahu sahabatku itu. “Nggak kok,” jawabku.
“Thanks atas advicenya ya, Na. Gue mau balik dulu nih.” Tata beranjak dari tempat duduknya. “Ntar ketahuan sama Natan.”Aku berdecak. “Heran gue kenapa lu bisa cinta mati sama tu cowok.”Tata tersenyum. “Lu pasti juga ngerasain perasaan itu nanti.” Tata mengedipkan matanya. Aku diam.
“Oh iya, Gigi sama Niki gak dateng, Na?” tanya Tata kemudian.Aku menggelengkan kepalaku. “Nggak deh nampaknya. Hari minggu kali ni nampaknya anak-anak pada sibuk. Yah… setidaknya lu gak perlu susah-susah cari alasan buat gak ikut ngumpul kalo gak dapet izin dari Natan.”Tata merengut. “Nyindiiiiir……….”Aku tertawa. “Udah… sana pulang. Ntar suami lu marah lho kalo ketahuan ngilang gitu aja.” Tata hanya mendengus sebal dan pergi keluar kamarku.
Sepeninggalan Tata aku merenung. “Lu pasti juga ngerasain perasaan itu nanti.” Kata-kata Tata itu kembali terngiang di telingaku. Perasaan itu sebenarnya sudah aku rasakan sejak lama. Perasaan menyukai seseorang dengan segenap hati sudah aku rasain bahkan jauh sebelum Tata jadian sama Natan, jauh sebelum Gigi merasakan penyesalan karena orang yang disayanginya meninggal sebelum dia sempat menjawab pernyataan cinta cowok itu, jauh sebelum Niki bertemu dengan cowok bule yang sekarang sudah jadi pacarnya. Dan sampai sekarang pun perasaan itu tidak pernah berubah, sedikit pun. Tapi entah kenapa perasaan itu justru bukannya membuat aku merasa di awang-awang seperti kata orang-orang. Perasaan itu sungguh menyiksa aku. Aku ingin sekali bisa terlepas dari perasaan ini. Tapi aku justru gak bisa mengusirnya. Kata-kataku tentang bisanya kita memanage perasaan kita kepada Tata ternyata juga tidak berlaku buat diri aku. Tapi, setidaknya aku berhasil untuk tidak menangis-nangis hanya karena tersiksa dengan perasaan ini. Yah.. karena apa lagi kalo bukan karena aku superwoman.
Namanya Abil. Dia teman sekolahku sewaktu aku SD dan SMP. Sebenarnya menurutku ini cerita bodoh. Cerita yang sangat tidak cocok bagi seorang Nana yang sangat terhormat. Percaya gak percaya aku pernah pacaran sewaktu aku SD. Tapi, itu karena terpaksa. Bener deh… karena terpaksa. Dan Abillah cowokku itu. Aku dulu sangat tidak menyukai Abil, karena apa?? Karena gara-gara perasaan bodohnya itu aku harus berkorban demi temanku. Aku tipe sahabat setia yang selalu mau melakukan apapun demi sahabatnya sendiri. Pada waktu itu, jujur deh aku tidak mengerti ada apa sih dengan mereka. Mereka masih sangat kecil, masih bau kencur, dari siapa sih mereka mengenal kata cinta.
Temanku itu disukai sama sahabatnya Abil dan temanku juga menyukainya. Tapi, kenapa mereka harus membuat syarat kalo mereka bakalan jadian asalkan aku nerima si Abil bodoh itu. Aku dipaksa sama teman-teman aku buat nerima dia, kalo gak temanku itu juga gak akan mau nerima temannya Abil itu. Nampaknya sejak kecil aku sudah ditakdirkan menjadi seorang pahlawan. Makanya aku mengalah dan memutuskan menerima dia. Ya Tuhan, sampai sekarang aku juga gak percaya kalo dalam hidupku ada cerita seperti itu.
Singkat cerita, aku jadian sama Abil. Cuma setahun. Setelah aku masuk SMP, aku mutusin untuk tidak peduli lagi sama dia karena temanku itu udah putus dengan temannya Abil, jadi buat apa aku lanjutin sandiwaraku ini. Lagian aku udah bete, udah bosan banget. Alhasil sejak saat itu aku tidak pernah menyapanya lagi. Jangankan menyapa, melihatnya saja aku sudah moh. Hanya dia satu-satunya teman sekelasku yang tidak pernah aku sapa. Aku tidak tahu gimana perasaannya dan jujur saja saat itu aku benar-benar tidak ingin tahu.
Tapi, mungkin ini yang namanya karma ya. Sejak aku masuk SMA dan pindah ke kota lain perasaan aku itu berubah. Aku tidak mengerti kenapa perasaan itu muncul. Waktu itu aku lagi liburan sekolah dan kembali pulang ke kota asalku karena orang tuaku masih ada di sana dan saat itulah aku melihatnya sedang jalan sama cewek lain. Sejak aku putus tanpa kata dengan Abil, aku sama sekali belum pernah pacaran lagi. Dialah cowok pertama dan terakhir aku sampai sekarang.
Kembali ke pertemuanku dengan Abil dan ceweknya. Saat itu entah kenapa aku merasa sakit hati melihat dia jalan dengan cewek lain. Aneh… Padahal aku benar-benar tidak ada bertegur sapa dengannya sejak masuk SMP. Kenapa perasaan itu justru muncul empat tahun kemudian setelah aku kelas 2 SMA dan sampai aku di tingkat dua universitas sekarang. Selama empat tahun pulalah aku memendam perasaan itu dan tentu saja tidak ada satupun yang tahu kecuali Tuhan Yang Maha Tahu.
Aku benar-benar tidak menyukai perasaan itu karena itu bukanlah jenis perasaan yang aku inginkan. Aku nggak mungkinkan datang lagi ke dia dan bilang aku suka sama dia padahal mungkin saja dia membenciku karena sikapku yang egois. Lagian dimana harga diriku kalo sampe aku duluan yang bilang suka ke dia. Aku benar-benar tidak bisa apa-apa. Aku menyukai seseorang pada tempat dan waktu yang salah.
“Na………….” Lamunanku buyar oleh panggilan mamaku. Aku memandang mamaku yang sekarang sudah membuka pintu kamarku. Dia tersenyum padaku. Sangat menenangkan.
“Lagi melamun?” tanya mamaku. Aku hanya tersenyum. Majalah yang masih terbuka di pangkuanku kututup.
“Cuma mikirin kuliah aja, Ma!” jawabku. Jelas banget bohongnya. Kuliah apa yang mesti aku pikirin di saat liburan semester seperti ini. Aku kan lagi liburan di kota asalku.Mamaku berjalan mendekat. Dia duduk di sampingku dan mengelus kepalaku.
“Kamu memang gak pernah mau cerita sama Mama ya????” lanjut mamaku lagi.Aku memandang mamaku. Rasa bersalahku muncul. Sebenarnya aku pengen banget cerita tentang perasaan aku ini sama mamaku, tapi aku gak bisa. Ya Tuhan… begitu tinggikah harga diriku ini aku letakkan hingga berbagi dengan mamakupun aku merasa gak sanggup.
“Nggak ada yang harus aku bicarain soalnya, Ma. Kalo ada aku pasti cerita,” jawabku meyakinkan. Mamaku kembali tersenyum.
“Ya sudahlah.” Nampaknya dia sudah sangat paham dengan sikap tertutupku ini. “Papa ngajak makan malam diluar.”Aku tersenyum. “Wah.. asik itu. Seafood ya????” bujukku. Aku suka banget seafood walaupun alergiku akan kambuh setiap aku makan makanan yang berbau seafood secuil pun.Mamaku menganggukkan kepalanya. “Mama cuma mau bilang itu aja. Sekarang kamu bisa lanjutin lamunan kamu lagi.” Mamaku beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan aku.
***
HPku berbunyi. Suara Chantal Kreviazuk dengan Leaving on The Jet Planenya melantun dari speaker HPku. Aku yang semula sedang berada di kamar mandi berlari keluar.Nama Gigi tertera di layar HPku.
“Ya, Gi????” Aku menjawab telponnya.“Na, gawat banget!” Gigi berteriak.“Apanya yang gawat sih???” tanyaku heran. Pagi-pagi begini gak ada lagi menurutku yang lebih gawat selain teriakannya Gigi.“Niki,” jawab Gigi singkat.
“Kenapa Niki?”“Niki nangis,” jawabnya. Aku mengernyitkan dahiku.
“Nangis???” tanyaku heran. Di antara kami rasanya hanya Tatalah si manusia selang air yang bisa menangis di depan siapa aja.“Lu kesini deh. Ke rumahnya Niki. Gue sama Tata udah disini kok.”“Ok. Gue kesana. I just need few minute,” jawabku cepat. Aku langsung melempar HPku ke tempat tidur, mengambil bajuku di lemari pakaian dan segera memakainya.
“Ma…” teriakku.Mamaku yang sedang berada di dapur melongokan kepalanya. “Kenapa, Na???” tanya mamaku heran melihat aku berlari-lari turun tangga.“Aku ke rumah Niki dulu ya.”Mamaku tersenyum. “Jangan pulang lama-lama ya. Mama masak cah kangkung kesukaan kamu. Ntar ajak aja Tata, Gigi, dan Niki makan siang di sini.”“Mereka pasti tidak akan menolaknya.” Aku mencium pipi mamaku kanan dan kiri kamudian berlari ke luar rumah.
Aku memarkir mobilku tepat di depan rumah Niki. Aku langsung pergi ke kamar anak itu. Tata dan Gigi sudah menunggu di sana. Aku terdiam. Niki memang sedang menangis, bukan bohongan. Aku mendekati Niki dan mengelus punggungnya. Niki yang sesenggukkan mengangkat kepalanya.“Na, hari ini setahun meninggalnya Bagas,” isak Niki.Aku menggigit bibirku. Cuma cowok itu yang bisa bikin Niki menangis. Aku tidak pernah berjumpa cowok itu. Aku hanya dikasih tau cerita lengkapnya setelah dia meninggal karena kecelakaan. Saat itu aku masih sekolah. Jadi, belum bisa pulang. Sebelum aku bertemu cowok itu, dia sudah pergi jauh.“Gue tadi niatnya mau ngajakin Niki sama Tata main ke rumah lu. Sewaktu gue ke sini mau jemput Niki tau-tau ni anak sudah menangis kaya gini.” Gigi menjelaskan. “Terus gue telpon Tata. Tapi, rasanya cuma lu yang bisa bikin dia tenang,” lanjutnya lagi.Aku mengalihkan pandanganku dari Gigi ke Tata. Tata hanya mengangkat bahunya tanda menyerah. Aku menarik nafasku. Diantara kami berempat Niki dan Tatalah yang sering curhat kepadaku. Gigi lebih suka menyimpan rahasianya sendiri sama sepertiku. Atau mungkin dia lebih suka curhat sama Tata karena sama Tatalah dia lebih dekat.
“Nik. Dengerin gue. Lu gak bisa kaya gini terus. Lu gak boleh terus-terusan menyesal kaya gini.”Niki masih sesenggukan. “Gue udah berusaha, Na. Tapi perasaan menyesal ini gak mau hilang. Gue bener-bener dibikin sakit, Na,” isak Niki.
“Nik, menangis gak akan mengurangi penyesalan lu jugakan. Kenapa lu lebih memilih menangis daripada bersikap tegar kalo dampaknya justru sama saja.”“Na, gue bukan lu. Gue gak sekuat lu yang bisa menyelesaikan masalah lu dengan lebih bijaksana.” Aku menghela nafasku. Tertawa pahit dalam hati. “Tadi pagi waktu gue bangun tidur tiba-tiba aja ada telpon dari Arif. Katanya malam ini ada acara setahun meinggalnya Bagas. Tiba-tiba air mata gue keluar begitu aja dan gak bisa berenti sampai sekarang.”“Kalo seandainya gue gak menggantung dia kemaren dia gak bakalan terus-terusan ngejar gue. Gue terlalu banyak berpikir sampai akhirnya gue terlambat. Gue bahkan gak bisa melihatnya untuk terakhir kali,” lanjutnya lagi masih terisak. Aku memeluk Niki. Tubuhnya bergoncang hebat. Aku bisa merasakannya.
“Sabar ya, Nik.” Memang tidak ada kalimat yang bisa terlontar dari mulutku. Kalo aku Niki pun aku juga akan merasakan hal yang sama. Walau aku tidak menyukainya pun rasa menyesal itu pasti tetap ada, apalagi kalo nama terakhir yang disebutnya adalah nama aku.
“Gue tau lu nyesel, Nik. Tapi lu gak bisa gini terus dong. Lu kan masih punya kehidupan yang harus lu jalanin. Gimana lu mau menjalani hidup lu itu kalo rasa bersalah lu malah lu pelihara di dalam diri lu.” Aku melepaskan pelukanku dari Niki. Tata dan Gigi memegang erat bahu Niki. Mungkin tujuannya untuk memberinya kekuatan.“Iya, Nik. Bagas juga gak bakalan senang kalo ngelihat lu kaya gini mulu.” Tata akhirnya membuka mulutnya. Sementara Gigi hanya menganggukkan kepalanya.“Pokoknya nanti malem lu harus ke rumah Bagas. Kita-kita bakal nemanin lu kok,” Lanjutku lagi.Niki memandangku lekat. “Tapi gue takut.”“Apa yang lu takutkan??”“Gue takut tambah sedih. Gue takut tambah merasa bersalah,” jawab Niki.“Nik, dengerin gue deh.” Aku mulai tidak sabar. “Sampai kapan lu mau lari dari kenyataan. Bagas sudah meninggal dan itu bukan karena lu. Soal sempat gak sempatnya lu menjawab pernyataan cinta Bagas itu karena memang sudah harus begitu. Sudah ada yang mengatur semuanya jadi lu gak boleh terus-terusan merasa bersalah. Hargailah apa yang telah dilakukan Bagas sama lu dengan tidak terus-terus menyalahkan diri lu,” jelasku panjang lebar.
Niki mengelap air matanya. “OK. Kita ke rumah Bagas nanti malam.” Aku, Gigi, dan Tata tersenyum puas. Niki memang tipe cewek yang keras kepala. Membuatnya menurut itu sama saja dengan menciptakan satu lagi keajaiban dunia.“Oh, iya. Ke rumah gue yuk. Nyokap ngajak makan siang di rumah.” Aku sengaja mengalihkan pembicaraan. Pokoknya jangan bikin Niki nangis lagi deh. Bujukinnya capek. Dia gak seperti anak kecil yang bisa langsung diam jika dikasih permen atau ice cream kalo lagi nangis.Tata dan Gigi tersenyum senang. “Yuk pergi sekarang.” Gigi menarik tangan Niki. Niki hanya menurut. Dia mengambil tasnya dan pergi menyusul aku dan Tata yang sudah keluar kamar mendahului mereka.
***
Aku melempar tas tanganku. Aku baru pulang dari rumah Bagas. Baru kali ini aku melihat wajah Bagas melalui fotonya. Gak banyak yang bisa aku tangkap dari foto itu karena itu hanya sebuah foto. Mana bisa kita mengenal orang lain kalo hanya dari fotonya saja. Niki sama sekali tidak mengeluarkan air matanya sewaktu di rumah Bagas. Aku jadi heran, padahal pagi tadi dia udah bisa bikin kolam air mata gara-gara menangis sepagian.
Aku menghempaskan diriku di tempat tidur. Aku jadi berpikir, kenapa sih banyak cewek yang menangis gara-gara cowok. Kenapa kita lebih takut ditanggilan sama cowok dibandingkan sama Tuhan yang menciptakan kita.
Aku menarik nafasku. “Abil…,” gumamku. Kenapa justru wajah dia yang mampir di otakku sekarang. Selama aku pulang aku belum ada bertemu dengannya. Terakhir aku ketemu sewaktu di rumah Tata. Waktu itu lebaran, Abil menemani temannya yang dulunya mantan Tata.Aku kembali teringat pertemuan itu. Pertemuan yang bodoh. Benar-benar memalukan. Disanalah sebenarnya pertama kali aku berbicara dengannya setelah sekian lama aku mengacuhkannya. Semuanya itu gara-gara Niki yang berisik. Kalo bukan karena Niki yang terus-terusan menggodaku aku tidak akan keluar dari persembunyianku dan tidak akan bertemu dengan dia.Sewaktu mereka datang, Abil dan temannya itu. Niki dan Tata sedang ada di dapur. Kami sedang membuat tiramisu. Jadi aku menunggui tamunya Tata itu yang memang sudah bikin janji sama Tata di ruang tamu. Tapi, aku tidak tahu kalo ternyata dia datangnya sama Abil. Waktu itu Gigi gak ikut. Gigi tinggal sama neneknya. Gigi orang kedua yang susah diajak kemana-mana setelah Tata. Bedanya sih Tata karena dilarang sama Natan, sedangkan Gigi dilarang sama neneknya.Wah… sewaktu tau ada Abil aku langsung ngacir ke belakang. Aku suruh Tata yang buka pintu. Awalnya mereka heran kenapa aku malah lari, padahal tugaskukan emang nungguin mereka. Tapi, tu cewek usil berdua langsung senyum-senyum menyebalkan sewaktu melihat Abil di hadapan mereka. Awalnya aku bersembunyi di ruang tengah. Tapi gara-gara Niki yang terus-terusan memanggil-manggil namaku aku terpaksa menyerah dan pasrah keluar dari persembunyian. Alhasil aku jadi bahan olok-olokkan mereka.Tapi saat itulah aku kembali bisa mengobrol dengannya. Bisa berbicara bebas. Setelah bertahun-tahun akhirnya kami bisa saling mengobrol lagi. Tertawa bersama, bercanda, pokoknya semuanya deh. Aku gak tau apa itu saat membahagiakan atau justru saat yang menyedihkan bagiku. Rasanya aku semakin nelangsa aja setelah ngobrol sama dia karena aku sadar hanya aku yang memendam perasaan suka sama dia sedangkan dia gak mungkin. Gak mungkin lagi ada perasaan sukanya seperti dulu setelah apa yang aku lakukan sama dia. Dia mau ngomong ama aku aja itu sudah ajaib banget. Yah… aku hanya bisa pasrah. Inilah yang namanya hidup. Tapi, kenapa sih cinta pertama aku harus mengenaskan seperti ini. Dan parahnya lagi aku gak tau kapan perasaan ini akan berakhir karena aku bukan tipe cewek yang bisa berpindah kelain hati begitu saja. Kalo bisa pasti dari kemaren aku sudah suka sama orang lain.
Actually, sampai sekarang gak ada satu pun orang yang pernah menyatakan cinta sama aku. Selama ini aku merasa mungkin karena aku bukan termasuk tipe cewek yang disukai sama cowok. Karena, kalo udah dekat cowok aku kayak mayat hidup, kaku. Mungkin gara-gara itu gak ada satupun kaum adam yang bisa tahan didekat aku lama-lama.
Ketiga sahabatku itu selalu bertanya, masa sih aku gak pernah suka sama cowok. Aku pengen cerita. Tapi kalo aku cerita mereka malah bertanya siapa dan aku harus menjawabnya. Dan kalo mereka tau semuanya, aku gak tau apa yang akan mereka katakan tentang aku. Mereka bahkan pernah menanyakan jangan-jangan aku lesbi. Aku langsung meledak marah dan bilang gimana aku bisa suka sama cewek kalo sekarang justru ada cowok yang aku suka. Nah…… Kadang jawaban di saat-saat terjepit justru jawaban yang membawa malapetaka bagi kita. Ketika mereka mendesakku untuk menjawabnya, aku hanya bilang kalo aku suka sama teman sekelasku yang entah siapa namanya aku sebutkan, aku lupa.
Sebenarnya, aku gak mau kalo mereka justru memojokkan aku kalo aku berkata jujur karena semua temanku itu tahu tentang pengalaman bodohku sewaktu SD dulu. Nikilah penyebarnya karena dia teman satu sekolahku saat SD dan kami sudah dekat saat itu. Ketakutan yang stupid memang, tapi inilah kenyataannya.
Aku memeluk gulingku. Semua cerita kembali berputar di kepalaku seperti kaset yang diputar ulang. Sekarang aku memang benar-benar merasakan karma Tuhan.
***
Aku masuk ke mobilku. Hari ini aku ada janji sama teman-temanku. Besok aku harus kembali ke Jakarta karena kuliahku akan segera dimulai. Jadi, hari ini kami mau jalan-jalan sepuas hati. Tata juga harus kembali ke Medan karena dia kuliah di sana.
Rencananya hari ini kami akan hanging out di café langganan kami. Biasanya kami hanya minum-minum saja karena Niki merupakan tipe cewek yang paling anti ngeluarin duit banyak-banyak. Katanya itu ilmu akuntansinya. Padahal aku juga kuliah di jurusan akuntansi tapi gak sampai segitunya pelit sama duit.
“Na, kapan lu pulang ke sini lagi?” Gigi membuka mulutnya. Ditinggalin berdua Niki benar-benar musibah buat dia. Niki itu cewek usil yang suka bersenang-senang di atas penderitaan temannya dan Gigi selalu jadi korbannya.Aku mengaduk cappuccinoku. “Enam bulan lagilah. Guekan gak mungkin pulang sering-sering kesini, bosan gue ngelihat kalian mulu.”Gigi cemberut. “Ditinggal lagi deh gue sama parasit satu ini.” Gigi menjitak kepala Niki sementara Niki hanya cengengesan. Menyiksa Gigi merupakan hobinya yang ada diurutan pertama. Diantara kami hanya Niki yang paling easy going, Tata paling cantik, dan Gigi paling disukai cowok-cowok, sedangkan aku hanya Nana si superwoman yang selalu menyembunyikan perasaannya.“Lu pulang besok juga, Ta?” Kini giliran Niki bertanya kepada Tata. Serius deh… tidak ada tampak tanda-tanda di wajah Niki kalo beberapa hari sebelumnya dia lagi desperate banget gara-gara Bagas, paling setahun lagi sewaktu memperingati dua tahun meninggalnya Bagas baru tu anak menangis lagi.“Gue lusa,” jawab Tata singkat. Sejak tadi dia sibuk dengan HPnya. Lagi membalas SMS dari Natan. Cowok itu udah kaya petugas sensus, nanya ini itu sama Tata. Heran deh, susah banget cowok itu bisa percaya sama ceweknya. Sewaktu di jalan tadi kami melihat beberapa penguntit yang merupakan pesuruh Natan. Bikin emosi aja.Niki memandang Tata sebal. Dia mengambil HP Tata.
“Niki… jangan nyebelin deh.” Tata berusaha menyambar HP itu tapi bukan Niki namanya kalo bisa ditakhlukan dengan mudahnya.“Lu sih… udah jelas ini hari terakhir kita sama-sama lu masih aja smsan sama pacar posesif lu itu. Besok lu buat dia deh, kita-kita gak bakalan nguntitin lu,” sindir Niki.“Iya, Nik. Matiin aja HPnya.” Gigi memberi dukungan. Aku hanya diam masih sibuk dengan cappuccinoku.
“Jam berapa besok lu berangkat?” tanya Gigi.Aku mendongak menatap Gigi. “Gue berangkat pagi. Siang gue harus sudah di kampus, ada yang mau diselesain.”“Kami anter ke bandara ya?” Tata memandangku.Aku menggelengkan kepalaku. “Gak usah deh.” Walaupun aku senang kuliah di tempat jauh tapi meninggalkan orang-orang yang aku sayangi tetap aja bikin aku sedih.
“Lu kenapa sih selalu gak mau dianter kalo berangkat??” tanya Niki sebal. “Tata aja selalu minta anterin ke bandara kalo dia mau pulang ke Medan,” lanjutnya lagi.Aku tersenyum. Sebenarnya aku gak mau mengakui kalo aku sedih ninggalin mereka karena mereka bisa jadi sangat menyebalkan setelah itu. “ Males aja. Gue gak bakalan bisa sampai di bandara tepat waktu kalo yang ngaterin gue itu kalian. Tata dandannya lama, Gigi harus minta izin sama neneknya dan itu membutuhkan waktu satu jam, kalo lu Nik lu susah banget bangun pagi. Yang ada gue bisa ditinggal pesawat. Jangan harap deh gue mau…”Ketiga sahabatku hanya bisa mengangguk pasrah. Untung saja aku tipe cewek yang pandai ngomong. Aku paling pintar mencari alasan, rasanya sejauh ini belum ada satu pun orang yang aku kenal bisa menandingi keahlianku yang satu ini.“Jadi enam bulan lagi deh kita bisa ngumpul??” Gigi membuka mulutnya.Aku dan Tata menganggukkan kepala.
“Makanya, Neng kuliah di tempat lain dong, masa kalian berdua mau berkurung di sini mulu. Gak bosan apa…” Tata tertawa.“Tunggu deh cair kutub utara dulu baru nenek gue tersayang mau ngasih izin ke gue,” dengus Gigi kesal. Aku sebenarnya tidak begitu tau dengan silsilah keluarga Gigi karena seperti aku bilang sebelumnya Gigi memang cewek yang tertutup.
“Kalo gue, tunggu pohon mangga di depan rumah gue berbuah durian baru nyokap bolehin gue kuliah di kota lain,” tambah Niki. Waktu SMP aku dan Niki selalu lari dari rumah jika ingin ikut kemah pramuka. Kami selalu tidak dapat izin dari orang tua kami. Tapi untungnya orang tuaku
Aku hanya tersenyum. “Wah… kalo itu masalahnya kita-kita gak bisa bantu lagi,” jawabku yang disambut tawa Tata dan gumaman kesal Gigi dan Niki.
***
Aku menghembuskan nafasku berat. Hari ini aku kembali lagi ke Jakarta. Kembali pada rutinitas kuliahku.
“Gak ada yang ketinggalan lagi??” tanya mamaku ketika aku membuka pintu mobil. Ini sudah kesekian kalinya mamaku menanyakan pertanyaan yang sama.
Aku mendelikkan mataku bosan. “Udah, Ma,” jawabku.
“Jangan kaya kemarin lagi. Mama dan Papa jadi kalang kabut ngirimin diktat kamu karena lupa kau bawa,” lanjut mamaku lagi lebih ke arah omelan.
Papaku tersenyum. “Udah.. masuk!!! Bentar lagi pesawatnya take off.” Aku dan mamaku berjalan mengikuti papaku yang sedang mendorong travel bagku.
“Hati-hati ya, Sayang!!” Mama mencium pipiku kanan dan kiri. Aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku.
“Jangan macam-macam ya disana. Jaga diri baik-baik.” Papaku juga membuka mulutnya.
Kali in aku tertawa. “Tenang aja, Pa. Aku bakalan selalu jadi anak baiknya Papa.” Papa balas tertawa. Dia mengusap rambutku.
Aku pergi meninggalkan kedua orang tuaku menuju ke pintu keberangkatan. Aku kembali menghela nafasku. Aku selalu pengen menjadi manusia baru setiap meninggalkan kota kelahiranku ini. Pengen bisa menjadi diri aku yang sebenarnya tanpa embel-embel superwomanku lagi. Aku benar-benar lelah. Banyak hal yang ingin bisa aku bagi dengan orang-orang terdekatku tapi selama ini cerita itu hanya sampai di kerongkonganku saja, tidak pernah berhasil terucap dari mulutku.
Berat langkahku setiap ingin berangkat dari kotaku ini. Banyak masalah yang menggantung yang aku tinggalkan. Awalnya aku berharap dengan kepergianku jauh ke tempat lain bisa mengikis problem aku yang ada di kota ini, tapi nyatanya tidak. Tidak ada perubahan. Aku tetap begini-begini saja. Tetap cewek bodoh tapi berharga diri tinggi dengan topeng kebijaksanaan dan kekuatan sebagai perisai.
Aku ingin sekali berteriak di hadapan mereka semua, ini bukanlah aku. Aku bukanlah superwoman seperti yang mereka kira selama ini. Aku juga cewek lemah yang butuh uluran tangan seorang sahabat. Tapi, aku benar-benar gak bisa ngapa-ngapain lagi. Semuanya telah terlanjur terjadi. Penyesalan memang selalu terjadi belakang. Harga diriku yang aku letakkan terlalu tinggi inipun sekarang sulit untuk aku jangkau.

Tidak ada komentar: