Jumat, Agustus 22, 2008

Kala Kau Menjemput

Cuaca sore ini tidak terlalu bersahabat. Gumpalan mendung yang menggantung berbaris rapi, membuat sang surya tak sempat berpamitan pada bumi sebelum pulang ke peraduannya. Sore begitu redup. Tidak gelap. Tidak terang. Angin yang menghempas, menusukkan kuku-kukunya yang tak tampak ke tubuhku yang hanya terbungkus kaos dalam dan dilapisi kemeja putih lengan panjang.Sore ini benar-benar tidak bersahabat. Mendung tak tahan lagi untuk tidak memuntahkan hujan yang sedari tadi bergelayut di perutnya yang semakin buncit saja. Tik-tik-tik hujan mulai terdengar di atap halte bis yang terbuat dari seng, tempat aku menunggu jemputan Rifqi, anakku.“Bila waktu telah memanggil. Teman sejati tinggallah amal. Bila waktu…,” tiba-tiba ringtone SMS hapeku berbunyi. Ini adalah lagu kesayangan istriku. Aku sebenarnya tidak terlalu suka dengan lagu ini, tapi istrikulah yang mensetting ringtone hapeku. “Biar ingat,” katanya, ketika kutanya mengapa dia memilih lagu itu sebagai ring tone hapeku.Kurogoh hapeku dari saku celana. Kubuka.
New messageShow
Istriq SayangAss. Mas, maaf rifqi pling tlt jmpt,coz td adk mnyrhnya k aptk bli obt wildan.wass
Sender:Istriq Sayang
Sent:17:06:2626:03:2007
Waah!! Alamat kemaleman di jalan. Kalau sudah sore begini tak akan ada bis kota jurusan ke rumahku lewat. Kalaupun ada angkutan, itu hanya taksi dan aku harus mikir dua atau tiga kali untuk naik taksi. Bulan ini lebih banyak kebutuhan dari income. Bayaran kursus jarimatika Rifqi. Obat Wildan yang masih butuh perawatan intensive setelah operai di rumah sakit PKU Muhammadiyah akibat amandel yang dideritanya. Tagihan listrik yang tiba-tiba naik gak ketulungan. De-el-el. Budget keluargaku memang lagi seret. Naik taksi bukan keputusan yang mudah untuk kuambil. Apalagi akhir bulan begini. Biarlah aku tunggu jemputan si Rifqi, anakku yang nomer satu, yang kini duduk di kelas XI SMA.Segera kupencet kembali bola-boal mata keypad hapeku.
Options-Reply-Empty ScreenYa gpp,jg ank baik2.mas skrg d hlte bis dpn kntr.jd rfqi srh lngsung k sni.mas tnggu.Options-sent- +6281804080007-OK
Kemudian muncul di elcede hapeku
Message sent
Beberapa saat setelah itu, muncul laporan.
Delivered to:Istriq Sayang
Sepi dan dingin kembali mencengkeramku dalam penantian. Titik-titik hujan kulihat menggaris-garis udara. Angin yang turun dari langit masih saja menusuk-nusukkan kuku-kukunya ke pori-poriku. Kucoba melawannya dengan mendekap koper hitam yang penuh berkas-berkas kantor yang harus aku periksa di rumah nanti.
***
Sore hari di halte dengan hujan yang mengguyur begini, mengingatkan aku pada kenangan delapan belas tahun silam. Pada saat seperti ini aku dulu berpisah dengan “sahabatku”. Kulihat matanya memerah. Hidungnya memerah. Bibirnya bergetar saat ia mengucapkan “assalamu’alaikum”, yang terakhir kalinya. Kemudian berpaling dan melangkah ke pintu bis yang telah menunggu.Bis Putra Remaja jurusan Sumatera yang membawanya pergi dari Jogja, seakan mencibir cintaku yang tak berani kuungkapkan, hanya karena masalah yang mungkin bagi sebagian orang adalah sangat sepele, jarak yang terlalu jauh! Dia dari Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, sedangkan aku dari Selong, Lombok Timur.Sejak saat itu sebenarnya aku tidak suka pada halte, apalagi ditambah hujan di sore hari. Karena semuanya akan memaksaku untuk kembali pada kenangan yang sangat pahit, perpisahan. Kalau tidak karena hujan, atau tidak ada tempat berteduh yang lain, sebenarnya aku enggan duduk di halte ini. Sungguh!!“Ada korek, Mas?” tanya seorang pemuda dekil dengan sebatang Dji Sam Soe di jari kirinya.Entah dari mana datangnya. Tiba-tiba dia sudah ada di depanku. Membuyarkan lamunan. Mungkin dari gedung kampus di samping kantorku. Atau jangan-jangan dia datang dari angit dan turun bersama hujan. Atau dia adalah kumpulan air hujan yang diciptakan Tuhan jadi manusia, kemudian diperintahkan untuk menemaniku yang sedang dipagut sepi dan ditusuk kuku-kuku angin yang tak tampak. Entahlah. Aku sudah lelah berfikir.“Nggak ada, saya tidak merokok.”“Ooo..”
Pemuda itu kemudian duduk di dekatku. Sebatang rokok di tangannya dimain-mainkan dengan jari-jarinya yang tampak sudah terampil. Kaos oblong hitam dan celana jins yang dipakainya tampak kumal. Rambutnya yang sebahu, tampaknya juga jarang disisir. Awut-awutan. Tangannya memegang sebuah buku yang tebal. Ketika aku kuliah dulu, potongan seperti ini adalah potongan aktivis yang mahasiswa. Atau mahasiswa yang aktivis.“Mau naik bis jalur berapa?”“Tujuh”“Oo…, memangnya mau ke mana?”“Warung Boto…Mas sendiri?”“Saya nunggu jemputan anak saya. Sore begini susah naik bis ke Jakal.1 ”“Oo…”Kami kemudian sama-sama diam. Menjelajah di alam pikiran masing-masing. Aku juga tidak terlalu berminat memperpanjang obrolan. Jawabannya selalu garing! Kulihat dia juga lebih suka diam. Mungkin dia lebih suka berkomunikasi dengan sebatang Dji Sam Soe yang belum sempat dinyalakan itu. Mungkin dia lebih suka berpikir tentang tema-tema diskusi tematik yang ia susun dengan teman-temannya. Atau mungkin-mungkin yang lain. Bukankah hidup ini penuh dengan sejuta kemungkinan?Dari tikungan depan, sebuah bis kota jalur tujuh, berjalan tertatih-tatih menyeruak barisan hujan, karena muatan yang melebihi kapasitas. Seorang kenek berkaos orange lengan panjang tampak berdiri di pintu bis, berjejalan bersama penumpang.Pemuda di sampingku berdiri, melambaikan tangannya, lalu masuk ke perut bis. Mirip dengan datangnya yang tanpa permisi, ia pergi pun tanpa pamit. Ia begitu saja pergi, tanpa membekaskan kesan dalam ingatan. Inilah halte! Yang datang lebih awal tidak mesti berangkat lebih awal. Tergantung angkutan yang datang!Bis jalur tujuh terus membawanya dengan terseok-seok, menorobos hujan yang masih saja menggaris-garis di udara. Angin yang kadang-kadang menyapu dan sesekali ditingkahi dengan kilat yang mirip blitz tustel raksasa kemudian diiringi petir yang menggelepar-gelepar. Bumi bergetar. Halte bergetar. Aku bergetar.
***
Petir menggelegar. Aku tersentak.Kulihat jam di layar elcede hapeku jam 17.39. mataku sudah mulai capek, karena selalu kutempelkan ke ujung jalan sana, tempat biasanya tiba-tiba Rifqi muncul dengan motornya. Aku berharap di antara lalu-lalang pengendara yang kesetanan di sore hari ini, anakku muncul. Tapi dia tidak datang-datang. Atau belum datang. Ah…belum dan tidak bagiku sama saja tak ada bedanya.Di sampingku, kini duduk seorang kakek dengan kemeja dan celana kusam. Tak pernah disetrika. Atau barangkali jarang dicuci. Di sampingnya ia letakkan payung hitam yang masih meneteskan titk-titik hujan dari pinggirnya.Mau naik biskah? Tidak mungkn! Tidak ada bis sesore ini. Naik taksi? Orang potongan begini, aku pikir tidak mungkin naik taksi. Tidak ada tampang!! Pasti nunggu jemputan! Kalau begitu, nasibnya sama dengan nasibku.“Nunggu jemputan, Kek?” sapaku mencoba memecahkan suasana dan mencari jawaban atas praduga-praduga yang kini menari-nari di kepalaku.Kakek itu melirikku sebentar. Menatap hujan lagi.Lagi-lagi kilat menyambar. Petir menggelegar. Aku bergetar.“Apa?” tanya Kakek di depanku, sambil menatapku lagi.“Kakek, sedang nunggu jemputan?”“Kakek…selalu menunggu jemputan…”“Maksud Kakek?”“Bukankah dunia ini halte raksasa? Dan setiap orang, sadar atau tidak sadar, sedang menunggu Izrail datang menjemput.”Diam. Bisu.“Waah, ini sudah menjelang Maghrib. Kakek ke masjid sebelah dulu. Mempersiapkan bekal, kalau-kalau si Izrail menjemput dadakan. Assalamu’alaikum.”Aku hanya diam. Melongo. Kata-kataku tercekat di tenggorokan.Maghrib? Shalat? Sudah beberapa tahun ini aku tidak shalat. Izrail? Bukankah itu Malaikat Pencabut Nyawa? Kematian? Iih … ada-ada saja kakek tua itu. Aku khan masih muda begini. Mana mungkin…? Kalau dia mungkin saja harus sudah siap-siap untuk…(aku tidak punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya), dia khan sudah bau tanah. Pantas. Wajar.Lagi, kulihat jam di elcede hapeku. Jam 17.58. sayup-sayup terdengar suara adzan dikumandangkan dari masjid di bawah jembatan Gajah Wong yang kumuh. Menembus titik hujan yang masih saja berdansa dengan angin. Menyela di antara kilat dan petir. Menyapa telingaku. Ke mana anakku? Kok belum muncul juga? Atau tidak muncul juga? Bagiku belum dan tidak itu sama saja. Tak ada bedanya.“Bila waktu telah memanggil. Teman sejati tinggallah amal. Bila waktu…,” hapeku menjerit-jerit di saku celanaku. Kurogoh. Kubuka.
New messageShow
Istriq SayangAss. Mas, rifqi kecelakaan.skrg d UGD sarjito.mas cpt ke sni.wass
Sender:Istriq Sayang
Sent:18:09:1526:03:2007
Lagi, kilat menyambar. Petir menggelegar. Aku semakin bergetar dan gemetar.Sebuah taksi tiba-tiba muncul dari kejauhan. Menembus hujan yang masih saja berdansa dengan angin. Segera kulambaikan tanganku. Taksi berhenti. Aku mendekat. Kaca di samping sopir terbuka perlahan.“Ke mana Pak?” tanya sopir yang kini mengeluarkan kepalanya.“Sardjito!2″Aku segera naik. Taksi kemudian berjalan membelah cuaca yang masih saja kurang bersahabat.
***
Hujan masih saja menggaris udara di bawah lampu jalan yang kekuningan. Angin kini mendesau, menciptakan irama yang memilukan. Kilat dan petir yang menyambar-nyambar serta angin yang mendesau terasa mengiris-iris perasaan yang tak karuan. Dicekam kegalauan. Dihantui kecemasan.Dengan langkah-langkah panjang, aku berjalan menuju ruang UGD yang berada di muka Rumah Sakit. Beberapa suster tampak lalu lalang. Aku segera memasuki ruangan. Tanya seorang petugas resepsionis.“Rifqi, Bu?”“O…itu di sebelah barat.”
Tanpa sepatah kata aku segera menuju tempat yang ditunjukkan resepsionis. Segera kumasuki ruangan yang hanya disekat kain putih. Dari luar tabir, sudah kudengar tangis istriku yang ditahan-tahan. Dengan gemetar kusibak kain putih lebar di hadapanku. Di dalam kulihat bapak mertuaku, Mas Pri, tetanggaku, kemudian istriku yang dirangkul ibu mertuaku, di samping sebuah ranjang putih. Di atas ranjang tampak sesosok tubuh yang tampak mulai kaku ditutupkan panjang. Rifqikah?“Dek…,” ku raba bahu istriku.“Mas…Rif…Rifqi telah pergi selamanya,” tangis istriku kini pecah di dadaku. Terguncang-guncang. Bersedu sedan. Kudekap erat, mencoba memberi kekuatan dalam kerapuhanku yang kusembunyikan.Izrail? Kaukah yang menjemput anakku? Halte. Di mana sebenarnya halte itu? Siapa yang menjemput? Siapa yang dijemput? Siapkah kalau aku yang dijemput?
“Bila waktu telah memanggil. Teman sejati tinggallah amal. Bila waktu…,” lagu Opik kembali mengalun dari hape di saku celanaku. Tidak kuangkat, tapi kuresapi makna bait-baitnya.
Keterangan:1. Jakal adalah singkatan dari Jalan Kaliurang2. Sardjito, lengkapnya adalah RS. Dr. Sardjito

Tidak ada komentar: