Jumat, Agustus 22, 2008

Who Are You?

01.12 WIB
Drtttt….drttt….
1 message received
Kubuka paksa mataku yang sudah sangat ingin mengatup. Kugerayangi kasur tempatku merebahkan tubuh yang seharian penuh belum juga mendapatkan haknya untuk istirahat, mencari HP-ku.
“Mmmmhhh…. Siapa sich malem – malem gangguin orang?” Aku mengumpat sendiri. Kutatap layer HP-ku.
One message received.
Kuaktifkan tombol HP pemberian ayah ibuku saat aku berulang tahun di usia 17 tahun beberapa waktu yang lalu. Mataku tiba – tiba terbuka.
“Dia lagi…” gumamku. Kulihat si pengirim SMS tengah malam itu, tertera di layar HPku, Who R U?
Sudah hampir dua minggu aku terus dikirimi pesan–pesan singkat yang bikin aku penasaran. Setiap malam, dia mengirimkan puisi–puisi untukku. Awalnya kupikir paling hanya orang iseng dan nggak akan bertahan lama. Empat hari yang lalu aku bales smsnya dengan nada menyelidik, ‘Maf, sbnrny km tuh sp? Ap km gak slh krm sms?’. Tapi tidak ada balasan darinya. Tiap malam dia masih saja mengirim puisi–puisi itu.
Kubuka SMS itu, sebuah puisi lagi.
Snyum yg trukir dr bibirmu adl kt mesra…
Tntng rinduku pdmu yg trtnggl dlm mimpiQ…
Di bias senymmu yg mnwn, ad rs
Qsmpn…yg mekar seelok mwar…
Senymmu…
Spt mthr yg br trbt…
Bak plngi di bias ujung lngit…
Mlht senymmu…
Hdp mkn indh mknany…
Krn cnt brgma dr sdt jw…
Snymmu…
Bhs cnt yg indah…
Aku hanya tersenyum membaca SMS itu. Aku bergumam sendiri.
“Kalo dia nggak salah kirim SMS ini, mungkinkah….” Aku tak berani melanjutkan kata–kata. Rasa kantukku menyerang lagi. Aku benar–benar lelah. Seharian aku duduk mendengarkan pelajaran dari para pahlawan tanpa tanda jasa. Sepulangnya, aku harus menemani adikku yang masih berumur tiga tahun karena Ibu dan Bapak sedang menghadiri undangan pesta perrnikahan teman Bapak. Beberapa detik kemudian aku kembali ke dreamland, pulau mimpi.
***
“Mey, gimana?” Anin, sahabat sekaligus teman sebangkuku, memasang mimik penuh pertanyaan, dia penasaran.
“Gimana apaan?” Aku pura – pura tidak mengerti arah pembicaraannya. Kuambil buku paket Bahasa Inggris, sebuah buku tulis dan pulpen di atas meja.
“Dia…. Secret admirer-mu itu. Dia udah ngaku belum jati dirinya yang sebenarnya sama kamu? Terus, semalem kamu dapet puisi apa lagi?” Anin begitu bersemangat dengan kasusku yang satu ini. Mungkin karena dia sedikit berjiwa detektif, makanya dia mudah penasaran. Waktu pertama kali aku menceritakan kasusku ini, dia malah mengajukan diri untuk menyelidiki siapa sebenernya si pengirim SMS itu. Tapi aku tolak dengan alasan kalau SMS–SMS itu paling hanya akan bertahan selama dua–tiga hari. Saat itu dia tampak kecewa. Kecewa karena tidak bisa menjalankan aksinya bak Detektif Conan.
Kulirik dia sebentar. “Belum. Tadi malem dia ngasih puisi lagi. Baca aja!” Aku menyerahkan HPku pada Anin. Anin tampak serius dan menghayati isi puisi itu.
“Gila!! Bagus banget. Kayaknya ni orang suka sama kamu. Tapi, kemungkinan dia pemalu. Makanya, dia hanya berani menuliskan perasaannya lewat puisi–puisi itu…..” Anin kembali bergaya bak detektif. Aku hanya mendengarkan sambil membaca bacaaan yang ada di dalam buku paket Bahasa Inggris. Sesekali aku hanya menimpali dengan ucapan ‘Hmmm….’.
***
“Sebenernya, aku berharap sesuatu dari SMS–SMS itu.” Aku membuka pembicaraan. Aku dan Anin berada dalam angkot yang akan membawa kami pulang ke rumah.
“Maksudnya?” Anin bingung. Aku tersenyum melihatnya.
“Iya… Andai aja si pengirim puisi itu adalah…” Aku tidak melanjutkan kata–kataku. Entah kenapa aku merasa malu, takut. Takut kalau ada yang dengar dia menyebutkan nama itu.
“Adit maksudmu?” Anin blak–blakan menyebut nama yang sedari tadi aku tahan. Aku melotot ke arahnya. Aku kurang setuju aku membicarakannya di depan umum.
Sepertinya Anin tahu bahasa mataku. Buru–buru dia minta maaf padaku. “Ooppsss…. Maaf.” Anin nyengir kuda. Sebelum Anin kembali menjadi Detektif Conan, aku meletakkan jari telujukku di depan mulutku dan berdesis kecil. Anin pun diam.
Angkot terus melaju di jalan raya, membawa kami menuju rumah yang menanti kami. Ibu pasti sudah menungguku sambil menggendong Zahrana, adikku. Makanan lezat sudah memanggil–manggil perutku yang lapar. Sepanjang perjalanan kami hanya diam.
***
Tuuuuttt….. tuuuutt…..
“Hallo Nin…” Aku duduk di kasur sambil memegang HP. Aku menelepon Anin. Suara dari seberang kelihatannya masih malas–malasan menjawab teleponku.
“Mmm… ada apa Mey?”
“Aku cuma mau memberimu kesempatan.”
“Kesempatan apa?”
“Untuk jadi Detektif Conan.”
“Maksudnya??”
“Aku penasaran sama pengirim SMS itu. Kamu bisa kan cari tahu siapa dia???”
“Bereeeesss!!!!” Anin tiba – tiba sangat bersemangat. “Mey, sebenernya aku udah memulai misiku ini sehari setelah kamu nunjukkin SMS itu ke aku. Hehehe…. Tapi, waktu itu kamu melarangku. Jadi ya… terpaksa aku nggak ngasih tahu dulu. Rencananya aku mau kasih tahu kalau aku sudah tahu siapa ‘pelaku’nya.”
“Dasar!!!” Aku agak kesal tapi juga seneng.
“Terus hasilnya gimana??” Aku akhirnya penasaran juga. Anin memang berbakat jadi detektif. Beberapa bulan yang lalu, kasus pencurian dompet Siska, temen sekelas kami, juga berhasil diungkap olehnya.
“Mmmm…. Sekarang aku mencurigai tiga orang.”
“Siapa?” Aku tambah penasaran.
“Rangga, Doni, dan…..” Anin menggantungkan kata–katanya.
“Dan????”
“Adit.”
“Hhhhaaaaaahhh???!!!!!!! Koq dia juga?” Aku kaget sekaligus senang. Mungkinkah Adit yang selama ini mengirimkan puisi–puisi itu?”
“Iya. Penjelasannya nanti aku jelaskan di sekolah. Aku mau Shubuhan dulu nih… udah hampir jam setengah enam. Bye…” Klik.
Aku sungguh penasaran dengan analisis yang akan dia sampaikan.
***
Sudah lima hari berlalu sejak Anin menjelaskan analisisnya kepadaku. Dari ketiga ‘calon’ yang diajukan Anin, Rangga tergeser dari ‘finalis’ itu. Jadi, tinggal Adit dan Doni. Aku semakin deg–degan. Apa lagi Anin bilang belum menemukan petunjuk lagi tentang si Pengirim SMS itu.
Aku benar–benar penasaran dibuatnya. Sebelum pulang sekolah, Anin berkata padaku bahwa lusa akan mendapatkan hasilnya. Aku disuruhnya pergi ke café 1001 untuk mendapatkan jawabannya. Pukul tujuh malam aku harus sudah ada di café itu. Kalau tidak, dia akan merahasiakannya selamanya. Aku bener–bener penasaran dibuatnya.
***
07.02 WIB
Aku melangkahkan kakiku ke dalam café itu. Café 1001. Sudah lama aku tidak masuk ke café itu walau hanya sekedar minum jus apel kesukaanku. Aku mencari–cari sosok Anin. Tak juga aku lihat.
Drrttt…. Ddrrrrt…
1 message received
Kubuka sms itu. Dari Anin.
Mja no 25. Aq kebelet. Tgg aq sbntar.
Aku menggerutu sendiri. Dalam kondisi kayak gini masih sempet – sempetnya dia kebelet. Aku melangkahkan kakiku ke meja itu. Wait!!! Ada yang aneh di meja itu. Taplak mejanya beda dengan yang lain. Ada sekuntuk bunga mawar dimeja itu, juga selembar kertas. Kubuka SMS dari Anin lagi. Kuyakinkan kalau itu meja yang Anin maksud.
Walaupun masih merasa janggal, aku pun akhirnya duduk di meja itu. Seorang pelayan tiba–tiba mendekatiku dan memberikan segelas jus Apel.
“Mbak, saya kan belum pesan.” Pelayan itu hanya tersenyum lalu pergi meninggalkanku yang masih bingung.
Lima menit aku menunggu Anin, dia belum juga kelihatan. Sementara musik café itu terus menyanyikan lagu–lagu yang entah kenapa lain dari biasanya. Tiba–tiba aku dikejutkan oleh sebuah lagu. Dia merasa sangat mengenal lirik lagu itu.
Di bias senyummu yang menawan, ada rasa
Kusimpan…yang mekar seelok mawar…
Senyummu…
Seperti matahari yang baru terbit…
Bak pelangi di bias ujung langit…
Melihat senyummu…
Hidup makin indah maknanya…
Karena cinta bergema dari sudut jiwa…
Senyummu…
Bahasa cinta yang indah…
Itu kan syair puisi yang aku terima. Aku mencoba melihat siapa penyanyinya. Aku tidak berhasil melihatnya. Cahaya lampu dibuat sedikit gelap.
Tiba – tiba……
“Nisrina Meita Ayu…. Maukah kau memberi senyummu setiap hari untukku??” Aku kaget. Tanganku dingin. Aku sangat mengenal suara itu. Ya, suara orang yang aku sukai. Suara Adit.
Perlahan lampu di depan sana menjadi terang. Akhirnya aku dapat melihat siapa penyanyi itu. Dia …. Dia memang Adit. Adit??? Benarkah?? Apa aku tidak lagi bermimpi?? Aku memukul pipiku sendiri.
“Kamu nggak lagi mimpi koq Mey….” Anin tiba–tiba ada di sampingku.
“Anin….” Kulihat senyum Anin mengembang di bibirnya.
“Kamu pengen tahu jawabannya kan?? Dia jawabannya.” Anin menunjuk ke depan, menunjuk Adit.
Aku baru sadar kalau semua mata tertuju padaku. Aku kaget, bingung, seneng. Aduuh…. Aku harus gimana???
Adit mengulangi pertanyaannya sekali lagi. “Nisrina Meita Ayu…. Maukah kau memberi senyummu setiap hari untukku??” Kali ini dia berjalan mendekatiku.
Tanganku semakin dingin. Aku berusaha mengatur nafasku. Kukumpulkan segala keberanianku. Tepat beberapa senti di depanku, Adit berhenti. Dia memberiku senyuman.
Aku menatap Anin lalu bergantian menatap Adit. “Iya…” Hhhh….leganya. Aku tersenyum lagi. Aku mengulang kata–kataku. “Iya, aku mau. Aku mau.”
Adit tersenyum, aku juga tersenyum. Semua pengunjung bertepuk tangan, bersorak pada kami. Tapi, aku masih penasaran. Lalu Adit berbisik padaku. “Besok aku jelaskan. Sekarang, makan malamlah bersamaku.” Adit memperlakukanku bagai putri. Aku senang banget.
Thanks Anin…

Tidak ada komentar: